Liburan tahun baru 2014 lalu, aku dan keluarga berkesempatan
mengunjungi beberapa Negara Eropa.
Bertepatan dengan winter, sekalian merasakan sensasi liburan musim dingin disana. Italy adalah salah satu negara yang menjadi
tujuan wisata kami. Italy memang
indah. Tiga hari berada di negara ini rasanya masih kurang, masih banyak
tempat-tempat wisata yang belum sempat dijelajahi. Tapi, tetap dan senantiasa bersyukur tentunya,
karena selama di Italy kami bisa menikmati kecantikan kota Venice, yang
terkenal dengan the city of water-nya. Menelusuri Vatican, negara terkecil di dunia
yang sarat ukiran-ukiran bergaya khas eropa dalam setiap bangunannya, mengunjungi tempat-tempat peninggalan
bersejarah seperti colosseum yang mengingatkan kembali sejarah peradaban
kejayaan Romawi. Juga menikmati
keindahan kolam air mancur terbesar di Roma, Trevi Fountain dan tentu saja
sebelum meninggalkan Italy, kami tuntaskan perjalanan ke Menara Miring Pisa,
menyaksikan kemegahan sebuah menara yang miring dan menjadi salah satu
keajaiban dunia.
Tapi sayang, Kota Bologna yang berada di bagian tengah
wilayah Italy dan sangat masyhur dengan pasta dan saus Bolognese-nya tidak
termasuk dalam itenarary kami selama di Italy.
Lalu, bagaimana kami bisa singgah di Bologna?
Selalu saja ada alasan jika Allah menghendaki.
Hugo, supir bis travel kami dan seorang wanita paru bayah
sebagai guide kami selama berada di Eropa adalah dua orang baik yang bekerja
sangat profesional. Hugo yang asli orang
Prancis dan Mbak Guide asli dari Indonesia sangat kompak dan disiplin dalam
mengatur alokasi waktu di setiap kunjungan.
Kadang saking disiplinnya mereka berdua berkenan untuk mencari, berlari
dan mengejar-ngejar kami yang sedang menikmati tempat-tempat wisata hanya
sekedar untuk mengingatkan bahwa waktu yang tersedia tinggal sekian menit dan
itu artinya kami harus buru-buru kembali ke bis untuk melanjutkan itenarary
berikutnya. Hmmm, kadang-kadang hal
semacam ini sedikit membuat aku kurang merasa nyaman. Tapi, apa boleh buat, memang begitulah plus
minus menggunakan jasa travel.
Melihat kedua pendamping kami seperti itu, mana mungkin dong
aku mengusulkan untuk merubah itenarary secara dadakan.
Entahlah, ketika bis kami melaju membelah kota Italy, aku mendengar
percakapan Hugo dan Mbak Guide dalam
bahasa inggris yang sangat jelas dan mudah dipahami. Mbak Guide meminta Hugo berhenti di Bologna
selama dua jam sebelum kami kembali ke hotel dan makan malam.
“What for?” tanya Hugo sambil menoleh ke Mbak Guide yang
berada disebelahnya.
“For Shopping” tegas Mbak Guide sambil mengulas senyum
Hugo mengangguk dan tersenyum lebar.
Akhirnya, jelang jam tiga sore bis kami berhenti di Kota
Bologna, tepatnya di ruko-ruko pusat perbelanjaan produk-produk lokal Italy.
Girangnya bukan kepalang!!!
Kami di drop di sebuah halte pemberhentian bis dan diberikan
waktu bebas selama dua jam untuk mengitari pertokoan dan dipesan untuk kembali
ke bis sebelum matahari terbenam. Pada
saat winter , waktu malam lebih panjang dari siang. Waktu siang bisa dikatakan
sangat singkat. Jam lima sore matahari sudah tenggelam dengan sempurna di Eropa. Jadi kami harus kembali lagi ke bis sebelum
jam lima. Lumayan…. ujarku dalam hati.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Bologna,
disambut udara yang tidak begitu menggigit di tubuh. Biasanya udara sore saat musim dingin sangat
menusuk-nusuk tulang. Berbeda dengan
yang kami rasakan di Bologna. Udara dingin
di Bologna cukup bersahabat, mungkin karena anginnya tidak terlalu kencang
sehingga tidak membuat kami khawatir kedinginan berada di area terbuka.
Kota Bologna saat akhir tahun |
Kesan pertama yang aku rasakan ketika berada di Kota Bologna
adalah sepi dan merah. Iya, suasana kota
terasa sepi karena bertepatan dengan natal dan tahun baru, sehingga kebanyakan
orang lebih memilih tinggal di rumah untuk mempersiapkan acara natal dan tahun
baru. Sebagian besar toko-toko di
pinggir jalan raya tutup, hanya beberapa saja yang masih buka dan melayani
pembeli. Dan sejauh mata memandang,
gedung-gedung unik yang tinggi dan berderetan di sepanjang jalan didominasi
warna merah. Entah, apakah warna merah bata ini ada kaitannya
dengan tradisi atau budaya yang berlaku di Bologna, aku kurang paham.
Kami memasuki sebuah toko pakaian yang penjaganya adalah
suami isteri yang rambutnya sudah dipenuhi oleh uban. Aku perkirakan usia keduanya diatas 60
tahunan. Seperti biasa yang sering kita
lakukan ketika berbelanja di Indonesia, aku
melihat-lihat, memegang kemudian mengambil barang yang aku suka untuk
ditunjukkan kepada penjaga bahwa aku ingin membeli barang ini. Dan ternyata
apa yang aku lakukan telah menyalahi kebiasaan jual beli disana. Dengan bahasa Italy yang fasih, si kakek penjaga toko menjelaskan
bahwa seharusnya aku hanya melihat dan menunjuk saja barang yang aku mau beli, tidak
boleh memegang, sementara dia yang mengambil dan mempersilahkan aku untuk melihatnya kemudian. Aku
terperangah kaget sambil senyum-senyum karena tidak mengerti sama sekali bahasa Italy dan berusaha memahami perkataannya
dari bahasa tubuh yang dia peragakan.
Aku berusaha mengulangi apa yang dia maksud dalam bahasa inggris.
Percuma, ternyata mereka tidak paham bahasa inggris sedikitpun.
Aku menangkap sepertinya kakek tua ini ingin mengatakan
bahwa pembeli adalah raja. Pembeli tidak
usah bersusah payah mencari barang yang disukai, cukup katakan dan penjaga toko
yang akan memberikan pelayanan sesuai dengan yang diminta.
Aku berpikir keras berusaha menggunakan bahasa tubuh untuk
menjelaskan apa yang dia maksud.
Tiba-tiba dia mengacungkan kedua jempol dan tertawa lebar. Spontan kamipun tertawa bersama. Ha…ha…ha…. berasa seperti tarzan.
Pengalaman lucu ini tentu saja ironis. Iya, malah sangat ironis menurutku. Kota Bologna ini terkenal sebagai kota
pelajar. Universitas Bologna, sebuah
universitas tertua di Eropa Barat, bahkan merupakan salah satu universitas
tertua di dunia ada di Kota Bologna.
Ratusan ribu mahasiswa dari berbagai penjuru dunia datang ke universitas
ini untuk menimba ilmu dan pengetahuan.
Tapi mengapa bahasa inggris yang minimal digunakan oleh antar mahasiswa
yang berlainan negara dalam berinteraksi tidak terlalu berimbas ke masyarakat
luas di Bologna? Atau bagaimana para
mahasiswa dari luar Italy bersosialisasi dengan masyarakat sekitar atau ketika
bertransaksi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari? Atau mereka menggunakan bahasa tarzan seperti
yang aku lakukan dengan kakek tua penjaga toko itu?
Rentetan pertanyaan muncul di benakku. Membuat aku penasaran dan ingin kembali lagi
ke Bologna, suatu saat nanti. Semoga
Allah mengabulkan keinginanku.
Bis Kota Bologna |
Kami menyusuri lorong-lorong toko yang hanya berdinding kaca
pada bagian depannya. Barang-barang yang
ada di dalam toko dapat terlihat dengan jelas seperti melihat ikan dalam aquarium.
Tapi semua pintunya tertutup rapat dan terkunci. Kami menghampiri setiap toko yang masih
buka. Rata-rata yang dijual disini
adalah produk fashion seperti
pakaian, sepatu, sandal, tas dan sejenisnya.
Walaupun produk lokal Italy tapi kualitasnya gak kalah dengan
barang-barang brand yang di jual di
mall-mall besar Italy. Harganya? Sangat
murah dan terjangkau dibanding harga-harga barang di The Mall. Apalagi menjelang tahun baru banyak diskon
besar-besaran akhir tahun. Menyenangkan
belanja disini.
Kami berjalan dari satu gedung ke gedung lainnya. Ada satu hal yang unik dari setiap
gedung-gedung yang kami lalui. Bentuk
atap yang melengkung unik di sepanjang jalan yang kami lalui. Namanya portuci. Portuci dalam bahasa Italy berarti gang
beratap. Bentuk atap yang menyerupai
tekukan lipatan ini tidak kami jumpai di kota-kota lain di Italy.
Satu hal lagi yang membuat aku kagum dengan Kota Bologna
ini, lalu lintas kendaraan sangat tertib dan rapi. Di setiap zebra cross terdapat dua buah lampu
merah. Satu untuk pejalan kaki dan satu lagi untuk kendaraan mobil. Kami menghentikan langkah di pangkal zebra cross karena melihat sebuah mobil
pribadi akan melintas. Tapi tanpa kami
duga mobil tersebut berhenti dan membuka kaca mobil. Dari balik kaca tersebut terlihat seorang
lelaki muda menyunggingkan senyum dan mempersilahkan kami untuk menyeberang. Ah, aku jadi teringat lalu lintas di
negeriku.
portuci, atap berbentuk lekukan |
Tak terasa matahari mulai meredup, itu tandanya kami sudah
ditunggu oleh Hugo dan Mbak Guide.
Selamat tinggal Bologna….semoga suatu hari nanti kami bisa
kembali mengunjungi kotamu.
berfoto bersama Hugo-supir bis |
aku suka banget sama bolognese spageti mak, tapi baru aku tau, kalo bolognese asalnya dari kota bologna. Hehehe.. keren banget ya disana :D
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
HapusHehehe....sama mbak...aku jg suka spagheti bolognese...yummiii :)
BalasHapusHai, Hugo. Salam kenal, Hugo. Eh :D
BalasHapusHehehe... sayang ya gak minta contact nya... eh...hihihi
HapusTernyata ada kota bologna ya di italy....suka bgt lihat itu portuci, kayanya hny ada di kota ini ya mak or all italy cirinya itu?
BalasHapusAku liat portuci hanya di bologna mbak... di Roma gak ada... venice jg gk ada...hehhe..blm tau klo di kota2 lain :)
HapusItaly memang menyenangkan ya mak.. Makannnya enak, orang-orangnya ramaaah dan banyak factory outlet huahahaha. Italy juga salah satu yang negara favorit kita niih
BalasHapusWuaahh... senengnya yg udh ngubek2 italy.. :)
HapusHihihiii...ternyata ada kontak batin nih antara nina dan si Mbak Guide. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jadilah shopping di Bologna. Terbayang deh kebahagiaan turis dari Indonesia ini girangnya kek apa.
BalasHapusIya alhmdllh...girang bgt bunda :)
HapusMantep juga neh tempatnya mba. Asyik kayaknya ya jalan-jalan disini.
BalasHapusAsyik mbak meski sebentar..hihihi
HapusTradisi belanjanya memang mengejutkan, enak juga sih.. tapi aneka kegiatan cuci mata sepertinya memang lebih enak pakai tradisi yang di Indonesia ya?^^
BalasHapusSemoga suatu hari bisa kembali lagi^^
Tradisi kita jauh lbh enak mbak.... yg jelas sama2 ngerti...haha...aamiinn
BalasHapus