Sabtu, 15 Agustus 2015

Ketika Singgah di Bologna, Italy


Liburan tahun baru 2014 lalu, aku dan keluarga berkesempatan mengunjungi beberapa Negara Eropa.  Bertepatan dengan winter, sekalian merasakan sensasi liburan musim dingin disana.  Italy adalah salah satu negara yang menjadi tujuan wisata kami.  Italy memang indah.  Tiga hari berada di negara  ini rasanya masih kurang, masih banyak tempat-tempat wisata yang belum sempat dijelajahi.  Tapi, tetap dan senantiasa bersyukur tentunya, karena selama di Italy kami bisa menikmati kecantikan kota Venice, yang terkenal dengan the city of water-nya.  Menelusuri Vatican, negara terkecil di dunia yang sarat ukiran-ukiran bergaya khas  eropa dalam setiap bangunannya, mengunjungi tempat-tempat peninggalan bersejarah seperti colosseum yang mengingatkan kembali sejarah peradaban kejayaan Romawi.  Juga menikmati keindahan kolam air mancur terbesar di Roma, Trevi Fountain dan tentu saja sebelum meninggalkan Italy, kami tuntaskan perjalanan ke Menara Miring Pisa, menyaksikan kemegahan sebuah menara yang miring dan menjadi salah satu keajaiban dunia.


Tapi sayang, Kota Bologna yang berada di bagian tengah wilayah Italy dan sangat masyhur dengan pasta dan saus Bolognese-nya tidak termasuk dalam itenarary kami selama di Italy.
Lalu, bagaimana kami bisa singgah di Bologna?
Selalu saja ada alasan jika Allah menghendaki.

Hugo, supir bis travel kami dan seorang wanita paru bayah sebagai guide kami selama berada di Eropa adalah dua orang baik yang bekerja sangat profesional.  Hugo yang asli orang Prancis dan Mbak Guide asli dari Indonesia sangat kompak dan disiplin dalam mengatur alokasi waktu di setiap kunjungan.  Kadang saking disiplinnya mereka berdua berkenan untuk mencari, berlari dan mengejar-ngejar kami yang sedang menikmati tempat-tempat wisata hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa waktu yang tersedia tinggal sekian menit dan itu artinya kami harus buru-buru kembali ke bis untuk melanjutkan itenarary berikutnya.  Hmmm, kadang-kadang hal semacam ini sedikit membuat aku kurang merasa nyaman.  Tapi, apa boleh buat, memang begitulah plus minus menggunakan jasa travel.

Melihat kedua pendamping kami seperti itu, mana mungkin dong aku mengusulkan untuk merubah itenarary secara dadakan.
Entahlah, ketika bis kami melaju membelah kota Italy, aku mendengar percakapan  Hugo dan Mbak Guide dalam bahasa inggris yang sangat jelas dan mudah dipahami.  Mbak Guide meminta Hugo berhenti di Bologna selama dua jam sebelum kami kembali ke hotel dan makan malam.

“What for?” tanya Hugo sambil menoleh ke Mbak Guide yang berada disebelahnya.
“For Shopping” tegas Mbak Guide sambil mengulas senyum
Hugo mengangguk dan tersenyum lebar.

Akhirnya, jelang jam tiga sore bis kami berhenti di Kota Bologna, tepatnya di ruko-ruko pusat perbelanjaan produk-produk lokal Italy.

Girangnya bukan kepalang!!!
Kami di drop di sebuah halte pemberhentian bis dan diberikan waktu bebas selama dua jam untuk mengitari pertokoan dan dipesan untuk kembali ke bis sebelum matahari terbenam.  Pada saat winter , waktu malam lebih panjang dari siang. Waktu siang bisa dikatakan sangat singkat.  Jam lima sore  matahari sudah tenggelam dengan sempurna di Eropa.  Jadi kami harus kembali lagi ke bis sebelum jam lima.  Lumayan…. ujarku dalam hati.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Bologna, disambut udara yang tidak begitu menggigit di tubuh.  Biasanya udara sore saat musim dingin sangat menusuk-nusuk tulang.  Berbeda dengan yang kami rasakan di Bologna.  Udara dingin di Bologna cukup bersahabat, mungkin karena anginnya tidak terlalu kencang sehingga tidak membuat kami khawatir kedinginan berada di area terbuka.

Bologna, Italy
Kota Bologna saat akhir tahun
Kesan pertama yang aku rasakan ketika berada di Kota Bologna adalah sepi dan merah.  Iya, suasana kota terasa sepi karena bertepatan dengan natal dan tahun baru, sehingga kebanyakan orang lebih memilih tinggal di rumah untuk mempersiapkan acara natal dan tahun baru.  Sebagian besar toko-toko di pinggir jalan raya tutup, hanya beberapa saja yang masih buka dan melayani pembeli.  Dan sejauh mata memandang, gedung-gedung unik yang tinggi dan berderetan di sepanjang jalan didominasi warna merah.  Entah,  apakah warna merah bata ini ada kaitannya dengan tradisi atau budaya yang berlaku di Bologna, aku kurang paham.

Kami memasuki sebuah toko pakaian yang penjaganya adalah suami isteri yang rambutnya sudah dipenuhi oleh uban.  Aku perkirakan usia keduanya diatas 60 tahunan.  Seperti biasa yang sering kita lakukan ketika berbelanja di Indonesia, aku  melihat-lihat, memegang kemudian mengambil barang yang aku suka untuk ditunjukkan kepada penjaga bahwa aku ingin membeli barang ini.  Dan ternyata  apa yang aku lakukan telah menyalahi kebiasaan jual beli disana.  Dengan bahasa Italy yang fasih, si kakek penjaga toko menjelaskan bahwa seharusnya aku hanya melihat dan menunjuk saja barang yang aku mau beli, tidak boleh memegang, sementara dia yang mengambil dan mempersilahkan aku untuk melihatnya kemudian.  Aku terperangah kaget sambil senyum-senyum karena tidak mengerti sama sekali bahasa Italy dan berusaha memahami perkataannya dari bahasa tubuh yang dia peragakan.  Aku berusaha mengulangi apa yang dia maksud dalam bahasa inggris. Percuma, ternyata mereka tidak paham bahasa inggris sedikitpun.

Aku menangkap sepertinya kakek tua ini ingin mengatakan bahwa pembeli adalah raja.  Pembeli tidak usah bersusah payah mencari barang yang disukai, cukup katakan dan penjaga toko yang akan memberikan pelayanan sesuai dengan yang diminta.

Aku berpikir keras berusaha menggunakan bahasa tubuh untuk menjelaskan apa yang dia maksud.  Tiba-tiba dia mengacungkan kedua jempol dan tertawa lebar.  Spontan kamipun tertawa bersama.  Ha…ha…ha…. berasa seperti tarzan.

Pengalaman lucu ini tentu saja ironis.  Iya, malah sangat ironis menurutku.  Kota Bologna ini terkenal sebagai kota pelajar.  Universitas Bologna, sebuah universitas tertua di Eropa Barat, bahkan merupakan salah satu universitas tertua di dunia ada di Kota Bologna.  Ratusan ribu mahasiswa dari berbagai penjuru dunia datang ke universitas ini untuk menimba ilmu dan pengetahuan.  Tapi mengapa bahasa inggris yang minimal digunakan oleh antar mahasiswa yang berlainan negara dalam berinteraksi tidak terlalu berimbas ke masyarakat luas di Bologna?  Atau bagaimana para mahasiswa dari luar Italy bersosialisasi dengan masyarakat sekitar atau ketika bertransaksi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari?  Atau mereka menggunakan bahasa tarzan seperti yang aku lakukan dengan kakek tua penjaga toko itu?
Rentetan pertanyaan muncul di benakku.  Membuat aku penasaran dan ingin kembali lagi ke Bologna, suatu saat nanti.  Semoga Allah mengabulkan keinginanku.

bangunan merah bologna

lalu lintas di bologna

bis kota bologna
Bis Kota Bologna
Kami menyusuri lorong-lorong toko yang hanya berdinding kaca pada bagian depannya.  Barang-barang yang ada di dalam toko dapat terlihat dengan jelas seperti melihat ikan dalam  aquarium.  Tapi semua pintunya tertutup rapat dan terkunci.  Kami menghampiri setiap toko yang masih buka.  Rata-rata yang dijual disini adalah produk fashion seperti pakaian, sepatu, sandal, tas dan sejenisnya.  Walaupun produk lokal Italy tapi kualitasnya gak kalah dengan barang-barang brand yang di jual di mall-mall besar Italy.  Harganya? Sangat murah dan terjangkau dibanding harga-harga barang di The Mall.  Apalagi menjelang tahun baru banyak diskon besar-besaran akhir tahun.  Menyenangkan belanja disini.

Kami berjalan dari satu gedung ke gedung lainnya.  Ada satu hal yang unik dari setiap gedung-gedung yang kami lalui.  Bentuk atap yang melengkung unik di sepanjang jalan yang kami lalui.  Namanya portuci.  Portuci dalam bahasa Italy berarti gang beratap.  Bentuk atap yang menyerupai tekukan lipatan ini tidak kami jumpai di kota-kota lain di Italy.

Satu hal lagi yang membuat aku kagum dengan Kota Bologna ini, lalu lintas kendaraan sangat tertib dan rapi.  Di setiap zebra cross terdapat dua buah lampu merah. Satu untuk pejalan kaki dan satu lagi untuk kendaraan mobil.  Kami menghentikan langkah di pangkal zebra cross karena melihat sebuah mobil pribadi akan melintas.  Tapi tanpa kami duga mobil tersebut berhenti dan membuka kaca mobil.  Dari balik kaca tersebut terlihat seorang lelaki muda menyunggingkan senyum dan mempersilahkan kami untuk menyeberang.  Ah, aku jadi teringat lalu lintas di negeriku.

diskon akhir tahun

atap berbentuk lekukan
portuci, atap berbentuk lekukan 


keindahan kota bologna

Tak terasa matahari mulai meredup, itu tandanya kami sudah ditunggu oleh Hugo dan Mbak Guide.
Selamat tinggal Bologna….semoga suatu hari nanti kami bisa kembali mengunjungi kotamu.



kerlap kerlip lampu malam

www.nanidjabar.blogspot.com
berfoto bersama Hugo-supir bis
***


15 komentar:

  1. aku suka banget sama bolognese spageti mak, tapi baru aku tau, kalo bolognese asalnya dari kota bologna. Hehehe.. keren banget ya disana :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  2. Hehehe....sama mbak...aku jg suka spagheti bolognese...yummiii :)

    BalasHapus
  3. Hai, Hugo. Salam kenal, Hugo. Eh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... sayang ya gak minta contact nya... eh...hihihi

      Hapus
  4. Ternyata ada kota bologna ya di italy....suka bgt lihat itu portuci, kayanya hny ada di kota ini ya mak or all italy cirinya itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku liat portuci hanya di bologna mbak... di Roma gak ada... venice jg gk ada...hehhe..blm tau klo di kota2 lain :)

      Hapus
  5. Italy memang menyenangkan ya mak.. Makannnya enak, orang-orangnya ramaaah dan banyak factory outlet huahahaha. Italy juga salah satu yang negara favorit kita niih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuaahh... senengnya yg udh ngubek2 italy.. :)

      Hapus
  6. Hihihiii...ternyata ada kontak batin nih antara nina dan si Mbak Guide. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jadilah shopping di Bologna. Terbayang deh kebahagiaan turis dari Indonesia ini girangnya kek apa.

    BalasHapus
  7. Mantep juga neh tempatnya mba. Asyik kayaknya ya jalan-jalan disini.

    BalasHapus
  8. Tradisi belanjanya memang mengejutkan, enak juga sih.. tapi aneka kegiatan cuci mata sepertinya memang lebih enak pakai tradisi yang di Indonesia ya?^^

    Semoga suatu hari bisa kembali lagi^^

    BalasHapus
  9. Tradisi kita jauh lbh enak mbak.... yg jelas sama2 ngerti...haha...aamiinn

    BalasHapus

Aku dan Lock Down-Virus Corona (Covid19)

Aku tiba-tiba merasa berada dalam dunia unreal, antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang aku alami saat ini. Tepatnya hari senin 1...