Jumat, 27 Maret 2020

Aku dan Lock Down-Virus Corona (Covid19)

Aku tiba-tiba merasa berada dalam dunia unreal, antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang aku alami saat ini.

Tepatnya hari senin 16 Maret 2020, hari dimana seharusnya aku mengumpulkan ujian take home mata kuliah Metode Penelitian Keluarga dan Anak yang diampu oleh dosen kesayangan Ibu doktor Herien Puspitawati.  Sebenarnya, Sejak hari minggu aku sudah menyelesaikan semua soal yang diujikan dan berencana keesokan harinya sepagi mungkin untuk kembali ke kampus dan mengumpulkan tugas tersebut agar aku bisa melanjutkan persiapan UTS mata kuliah lainnya yang akan berakhir pada tanggal  20 Maret 2020.

Tiba-tiba, aku membaca update berita bahwa Gubernur Jakarta memutuskan Lock Down untuk semua warga Jakarta dan sekitarnya karena jumlah pasien positif  Corona terus bertambah.  Dan Lock Down dimaksudkan untuk memutus rantai penyebaran virus yang sangat cepat penularannya tersebut.

Lock Down ??? lock down artinya harus menghentikan semua aktivitas di luar rumah!!!
Beragam perasaan muncul campur aduk, antara senang, sedih, bingung, dan pastinya antara percaya dan tidak apakah hal ini bisa benar-benar terwujud?  Dan tidak terbayang sama sekali akan seperti apa aku akan menjalani aktifitas keseharian tanpa boleh keluar rumah.  Berbagai pertanyaan pun memenuhi ruang bathinku.  Bagaimana dengan UTS yang baru setengah berjalan? bagaimana dengan kuliah lanjutan setelah UTS, bagaimana dengan tesisku yang masih banyak butuh konsultasi dan diskusi dengan dosen pembimbing, dan sederet pertanyaan-pertanyaan lain yang sungguh aku tak bisa membayangkannya saat itu. Akhirnya satu-persatu pertanyaanku terjawab lewat info-info yang berseliweran di grup whatsapp.  Mulai dari pemberitahuan resmi dari rektor IPB yang memutuskan semua kegitan di kampus akan dilakukan secara online mulai tanggal 16 Maret hingga akhir Mei 2020, sampai pengumuman teknis bagaimana ujian dan kuliah online berlangsung dengan menggunakan berbagai aplikasi yang bisa dikatakan masih asing bagi semua mahasiswa.

Hari ini, hampir genap dua pekan aku melakukan semua aktifitas dari rumah.  Ujian Tengah Semester, Alhamdulillah selesai untuk semua mata kuliah, tinggal menunggu teknis pelaksanaan kuliah dan praktikum online dari masing-masing dosen pengampu mata kuliah.  Tesis?  Dengan berat hati, aku harus mengikhlaskan penundaan untuk berkonsultasi langsung, sambil mencari literatur dan pendalaman variabel yang menjadi fokus penelitianku.  Aku yakin bahkan haqqul yakin, semua ini adalah skenario terbaik dari-Nya.  Poin paling penting adalah, aku harus tetap berpikir dan bersikap positif dengan segala yang aku hadapi saat ini.

Dengan mewabahnya virus Corona ini sudah seharusnya menyadarkan banyak manusia bahwa, ada sesuatu yang Maha Dahsyat di balik alam semesta yang dihuni oleh manusia selama ini.  Sebuah peringatan, sentilan, bagi manusia-manusia yang masih menggunakan penalaran akal sehatnya, bahwa bumi yang dipijak ini bertuan, ada yang memilikinya.  Dan ketika Sang pemilik menginginkan sesuatu terhadap apa yang Dia miliki, maka Kun Fayakun, Jadilah, Maka Jadilah!  Dan manusia tak mampu berkutik sedikitpun.

Mungkin bumi ini lelah menyaksikan ulah-ulah manusia yang berada di atasnya...atau bisa jadi bumi bosan dengan berbagai kedzoliman, ketidakadilan, kemaksiyatan yang tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu,...atau apalah...entahlah apapun itu, kita sebagai manusia tidak layak untuk menghakimi.  Tugas kita adalah pandai-pandai memetik hikmah dari kejadian ini.

Apa hikmah yang bisa dipetik???

Wait....tunggu tulisan berikutnya ya...
aku pamit dulu, see you soon....

Wassalam-Nan Dj

Selasa, 20 Februari 2018

Rindu Laut, Bermalam di Pulau Umang


Seketika rindu itu membuncah karena hampir satu setengah tahun aku tidak melihat dan merasakan aroma laut.  Selain karena memang kondisiku yang saat itu sedang hamil di usia kepala empat, sehingga aku harus menjaga janinku lebih ekstra. Dan juga karena si sulung yang sudah mulai asyik tenggelam dengan berbagai aktivitas di kampusnya, semakin banyak kegiatan dan semakin sulit untuk mencari waktu libur bersamaan.
Menerima dan sabar begitulah kira-kira kata yang sering aku gemakan untuk diriku sendiri ketika keinginan untuk menikmati laut tiba-tiba menyeruak, semua akan ada saatnya, imbuhku menghibur diri. 
Tanpa aku duga, menjelang weekend beberapa bulan yang lalu, si sulung menelpon dan mengatakan bahwa akhir pekan dia tidak ada kegiatan dan bisa pulang ke rumah.  Berita ini membuat aku berbinar-binar, apalagi baru beberapa bulan putri bungsuku di panggil Allah membuat kondisi psikisku belum seutuhnya pulih ditambah lagi aku terserang baby blues yang cukup berat, kala itu.
Langsung ku utarakan keinginanku untuk menikmati weekend di pinggir pantai, seperti biasa anak sulungku menyambut dengan suka cita dan tentu saja suami dan putri keduaku pun serta merta mengiyakan. 
Seringkali, kami belum tahu pantai mana yang ingin kami tuju sementara waktu sudah sangat mepet dan segala sesuatunya belum disiapkan??

Aku langsung semangat berselancar di dunia  maya mencari kira-kira mana pantai yang belum kami kunjungi di sekitar jawa barat.  Setelah klik  sana sini aku memutuskan pilihan untuk mengunjungi Pulau Umang, dengan pertimbangan masih bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat, dan berdasarkan beberapa review yang aku baca, pulau ini adalah pulau eksotis dengan fasilitas lengkap yang dirancang oleh pihak swasta untuk menikmati liburan nyaman di tengah laut.  Hmm, menarik bukan??
Pulau Umang adalah pulau yang terletak di provinsi Banten,  persisnya berdekatan dengan Ujung Kulon.  Luas Pulau Umang ini mencapai 5 Ha, berbatasan langsung dengan Selat Sunda dengan kisaran ombak yang relatif kecil dibandingkan dengan ombak selatan yang terkenal berarus kuat.

Kami memulai perjalanan sebelum sunrise, lebih kurang 7 jam perjalanan dengan kecepatan normal melewati jalur tol Jakarta –Merak, kemudian keluar gerbang tol Cilegon Barat dan seterusnya menyusuri wilayah pesisir Anyer hingga tiba di Labuan dan mengikuti jalur menuju Desa Sumur. Di Desa Sumur persis di pinggir pantai terdapat loket penyeberangan menuju Pulau Umang.  Dan disini juga disediakan lahan parkir untuk para pengunjung yang dijaga keamanannya oleh pihak Resort Pulau Umang.


Karena kami sudah booking tempat/cottage di Pulau Umang maka kami sudah tidak lagi dipungut biaya penyeberangan sebesar 100 ribu/orang.


Lebih kurang 7 menit berada di speed boat terbuka tanpa atap, menuju Pulau Umang.  Riak air laut yang bening tersapu laju speed boat, udara khas laut yang menampar-nampar pipi dan pemandangan hijau di pulau depan sana merupakan kombinasi sempurna menuntaskan kerinduanku pada laut, Subhanallah bahagia itu sangat mudah, jika kita mudah bersyukur. Alhamdulillah…

Sampai di darmaga kami disambut hangat oleh pihak cottage Pulau Umang.  Barang-barang diturunkan dari speed boat dan seorang wanita menyapa dengan senyum ramah mengajak kami menyusuri jembatan menuju lobi.  Di lobi, kami dipersilahkan beristirahat sejenak sambil menikmati welcome drink berupa orange juice segar.
Aku menyandarkan punggung di sofa empuk yang warnanya sudah mulai pudar di makan waktu.  Mataku menyapu ke semua sudut lobi yang luas terbuka tanpa dinding.  Sepertinya memang sengaja didesain terbuka agar para pengunjung tetap bisa merasakan sensasi udara dan view pantai yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja.  
Lantai, tiang-tiang lobi, atap, jendela dan semua kontruksinya berbahan dasar kayu.  Terlihat klasik dan dirancang dengan penuh perencanaan.  Tapi sayang, kurang menarik di mataku karena semuanya terlihat sudah sangat berusia dan kurang mendapatkan perawatan dengan baik.
Selang beberapa menit kemudian kami diantar oleh petugas untuk beristirahat di kamar cottage yang sudah kami booking sebelumnya. 
Melewati hutan kecil, taman-taman bunga yang sepertinya sudah lama tidak tersentuh tangan manusia.  Daun-daun kering bertebaran di jalan setapak diantara ayunan langkah kaki dan semak-semak yang mulai rimbun, sampailah kami di cottage yang desainnya seperti rumah semi panggung dengan dua lantai.  Selintas terlihat klasik karena semuanya dominan berbahan kayu.


Kesan pertama memasuki kamar cottage ini luas dan klasik.  Toiletnya juga sangat luas dan terkesan menyatu dengan alam karena atapnya yang tinggi dan lantai yang berbahanbatu-batu alam didesain sedemikian rupa seolah-olah sedang berada di alam terbuka.  Tapi, lagi-lagi aku mengernyitkan dahi.  Karena semuanya terlihat sudah sangat usang dan tidak terawat.  Apalagi ketika jari-jariku bisa melukis sesuatu di atas meja yang dilapisi butiran debu, hmmm…  dan kami pun saling berpandangan kemudian menyunggingkan senyum.  Itulah kami! Bersyukur dan menerima semua keadaan dengan senyum bahagia ketika melakukan traveling kemanapun meski kondisinya dibawah ekspektasi kami. 


Tak terasa sore menjelang.  Aku bergegas keluar dari cottage.  Teras cottage yang hanya berjarak beberapa meter saja dengan bibir pantai menjadi sebuah view yang sangat memikat. 

Suara ombak yang menderu-deru, sesekali ditimpali kicau burung di pepohonan dan menyaksikan batu-batu karang dengan beragam bentuk uniknya membuat suasana sore itu semakin menyenangkan. 

Senjapun menjelang.  Gerimis meningkahi bumi dan langit berkabut awan hitam.  Aku kesana kemari mencari-cari posisi yang memungkinkan kedua bola mata menyaksikan pijar-pijar warna jingga keemasan.  Sampai jari-jari kakiku berteriak perih, tak kutemukan bias warna mentari.

***
Malam di Pulau Umang, terasa begitu pekat.  Hanya diterangi lampu-lampu taman kami menyusuri jalan setapak untuk makan malam di restoran.  Sedikit berdiri bulu kuduk, apalagi setelah sempat menyaksikan beberapa bayi komodo melintas diantara semak-semak.
Saat itu restoran cukup ramai dipenuhi para pengunjung dari satu perusahaan yang sedang mengadakan family gathering.  Suara gaduh obrolan, tawa dan musik bercampur jadi satu membuat telingaku bising.  Aku kurang nyaman dengan suasana seperti ini.  Aku dan keluargaku mengambil posisi meja di ruangan yang berbeda, berharap tidak terlalu terdengar hingar bingar suara alunan musik dari depan.  Kupercepat suap demi suapan, kedua putri dan suamiku juga demikian, dan akhirnya kami menikmati suasana malam di kamar cottage ditemani suara ombak yang menghempas karang dan sesekali terdengar alunan suara jangkrik dan binatang-binatang malam.  Ah, serasa sedang bermalam di tengah hutan belantara.
***
Sunrise adalah saat-saat yang paling aku tunggu.  Usai sholat subuh aku mengintip ke jendela memastikan apakah cuaca berpihak padaku dan aku bisa memainkan kameraku untuk menangkap keindahan saat-saat menjelang matahari terbit.  Dan sepertinya aku harus kembali mengelus dada, cuaca tidak secerah yang aku inginkan. 
Kami menelusuri tepian pulau.   Berkeliling sembari menikmati udara pagi dan birunya air laut.
Airnya yang bening kebiruan, kadang sedikit kehijauan ketika diterpa mentari cukuplah menunjukkan bahwa tempat ini masih alami dan belum tercemar.  Pasirnya halus berwarna putih, koral warna warni bertebaran di tepian pantai bahkan tumbuhan hijau seperti lumut dan sejenisnya terlihat jelas di kedalaman selutut orang dewasa. 
Langkah kaki kami terus berayun sambil sesekali mengambil gambar.  Ada sisa-sisa pohon bakau yang masih bertahan di pinggiran pantai.  Beberapa hanyut ke tengah, mungkin terbawa arus saat air pasang, tetapi tetap kokoh berdiri membentuk pulau kecil yang justru terlihat unik dan indah  dipandang mata.


Tak terasa, setengah pulau sudah kami telusuri, dan kami masih ingin terus berjalan mengitari semuanya.

Di bagian paling belakang, beberapa cottage terlihat sangat kotor, bahkan semak-semak yang berjuntai memanjang seolah berlomba untuk menutupi atap cottage.  Sayang sekali, sepertinya pulau ini sangat kurang terawat.  Padahal dari batu peresmian yang aku temukan di sekitar taman, pulau ini baru diresmikan oleh Gubernur Banten pada tahun 2010, sekitar 7 tahun yang lalu.
Aku prediksi, di awal-awal tahun peresmian, pulau ini adalah pulau eksotis dengan fasilitas mewah yang sangat nyaman dan bergengsi.  Itu sangat jelas terlihat dari lengkapnya fasilitas dan gaya bangunan yang sangat mengutamakan kenyamanan pengunjung.  Sekali lagi sangat disayangkan karena kurang perawatan sehingga semuanya terkesan terbengkalai.  Konon katanya pemilik pulau beralih ke bisnis lain yang lebih menjanjikan sehingga Pulau Umang kurang mendapat perhatian.
Pada sisi pulau berikutnya terdapat gazebo-gazebo yang menghadap ke pantai dengan hamparan pasir yang luas.  Anak-anak bisa bermain pasir dan air disini dengan aman. Ada juga taman bermain yang khusus diperuntukkan anak usia 5 tahun ke bawah, berupa ayunan, prosotan dan lain-lain.
Tidak jauh dari gazebo disediakan kursi-kursi pantai tempat bersandar menikmati alam.  Ada cafĂ© kecil yang menyediakan makanan ringan dan pohon-pohon kelapa menjulang menambah suasana santai semakin menyenangkan.
Disini juga disediakan olahraga air seperti banana boat, snorkeling dan sky pantai bagi pengunjung yang berminat.
Dan di bagian depan, tidak jauh dari lobi terdapat kolam renang yang didesain seolah menyatu dengan air laut.  Para pengunjung banyak yang menghabiskan waktu pagi atau sore dengan berenang di kolam terbuka tersebut.

Akhirnya, tuntas sudah rasa penasaran ini untuk mengelilingi Pulau Umang. 
Aku duduk santai di salah satu kursi di bawah pohon-pohon kelapa.  Sambil mengutak atik foto-foto yang ada di kamera, senyumku mengembang menyaksikan dari kejauhan kedua putriku dan suamiku asyik bermain badminton dan sesekali bermain bola pantai.  Hidup terasa sempurna ketika kita bisa saling berbagi tawa dengan orang-orang terkasih.
Waktu begitu cepat berlari.  Sarapan pagi telah terhidang di resto untuk dinikmati oleh para pengunjung.
Menjelang tengah hari, setelah makan siang dengan beragam menu kombinasi Asia-Eropa, kami memutuskan untuk memulai perjalanan kembali ke rumah.
Bagi kami, semua perjalanan itu indah.  Perjalanan jugalah yang banyak mengajarkan kepada kami tentang rasa syukur, mandiri, disiplin, kepedulian,  kesabaran dan ketangguhan.  Maka, berjalanlah…karena sesungguhnya hidup ini adalah perjalanan.  [Nani Djabar] 
***

Jumat, 10 November 2017

Menikmati Udara Lembang, Menghirup Aroma Eropa di Farm House

Dingin udara Lembang mulai terasa di sekujur tubuh saat mobil kami berhenti dan istirahat sejenak meluruskan persendian setelah 4 jam perjalanan dari Bekasi.

Hawa sejuk khas pegunungan yang menyegarkan, kontur jalan  naik turun dengan bukit-bukit menghijau membuka kembali memoriku saat berada di Monaco pada musim dingin beberapa tahun yang lalu.  Kurentangkan kedua tangan, kutarik nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata dan mengucap syukur betapa indah dan sejuknya semesta Mu.

Lembang memang sarat destinasi wisata.  Di sepanjang jalan menuju hotel tempat kami menginap satu persatu tempat-tempat wisata terlewati dengan jarak yang tidak begitu berjauhan.  Udara sejuk, tempat wisata bertebaran dan kuliner khas yang memanjakan lidah merupakan kombinasi yang sempurna sebagai pilihan untuk bersantai di akhir pekan bersama orang-orang yang kita cintai.

Menjelang tengah hari, saat mentari mulai menghangat, kami sampai di Hotel Sandal Woods, hotel tempat kami menginap yang sudah kami booking sebelumnya.  Tampilan hotel dari depan sangat biasa bahkan terkesan sangat sederhana menurutku dibanding rate kamar hotel yang berkisar diatas satu jutaan/malam.


Hotel Sandal Woods


Langkah kakiku sedikit enggan memasuki lobi hotel, sementara pikiranku masih bertanya-tanya "kok gak seperti yang aku liat di websitenya, kecele deh"  bathinku.

Tanpa aku sadari suamiku sudah chek in dan kedua putriku sudah masuk duluan ke ruang lobi.
Aku terperanjat ketika salah seorang dari putriku melambaikan tangannya mengajak aku memasuki ruangan besar di bagian dalam.  Ternyata dugaanku salah.  Hotel ini sangat berkonsep. Ada sebuah ruangan besar yang terhubung dengan alam terbuka, dengan kursi dan sofa- sofa yang tertata apik.  Sudut-sudut ruangan terdapat benda-benda unik miniatur eropa dipercantik lampu remang warna warni.  Di seberangnya terdapat kolam renang dengan air yang biru jernih dan disekelilingnya ada bangunan tinggi dengan warna dan model yang klasik.



Tiba-tiba aku merasa seperti sedang berada di Eropa,
Benar, sang pemilik hotel yang pernah bersekolah dan tinggal lama di Eropa  sengaja mendesain hotel ini bernuansa Eropa.  Sama dengan tempat wisata Farm House dan D'Ranch yang juga miliknya.  Hanya floating market, dan rumah sosis yang tidak dikelola dengan konsep Eropa, celoteh resepsionis dengan wajah sumringah ketika aku menyampaikan rasa ingin tauku.

Aku tidak sabar untuk segera mengunjungi tempat-tempat wisatanya.  Usai melaksanakan kewajiban pada Sang Maha, kami langsung meluncur ke Floating Market yang tidak jauh dari hotel tempat kami menginap.  Sayang sekali, ekspektasiku terhadap pasar terapung ini mungkin terlanjur tinggi.  Dalam bayanganku, kami bisa manaiki perahu dan bertransaksi jual beli di atas air layaknya Floating Market yang ada di Bangkok atau Kalimantan.  Ternyata disini hanya ada para penjual beragam kuliner, diatas tempat yang berbentuk perahu diam yang dipasang berjejer di pinggiran danau.



Hmmm, aku sempat tercenung dan akhirnya tidak lama memutuskan untuk segera keluar menuju tempat wisata Farm House susu Lembang.

Lima belas menit berlalu.  Kami sudah memasuki halaman parkir yang sangat luas di area wisata farm house.  Kubuang jauh-jauh segala harapan tentang indahnya wisata ini.  Sudahlah aku hanya ingin menikmati kebersamaan bersama keluargaku tercinta.  Bagaimanapun suasananya aku sudah sangat bahagia bisa melalui akhir pekan bersama orang-orang yang aku cintai.

Tempat wisata ini sepertinya cukup luas.  Dari halaman parkir menuju pintu masuk cukup jauh.  selintas terlihat asri dan sangat menarik.

Gerimis kecil menemani langkah-langkah kaki kami menuju pintu masuk yang tiketnya bisa ditukar dengan 1 cup susu atau jus atau 1 menu makanan yang ada di resto farm house.
Pandanganku menyapu ke setiap penjuru.  Wow Menarik!!! gumamku dalam hati.


Kedua putriku langsung menyambangi kandang-kandang ternak yang ditata sedemikian menarik.  Ada iguana, angsa, burung, kelinci, kambing, sapi dan lain-lain.  Iya, Farm House ini merupakan tempat wisata di alam terbuka yang berkonsep perkebunan dan peternakan dengan setting dan landscape yang dikelola sedemikian rupa sehingga pengunjung merasakan seolah-olah sedang berada di Eropa.  

Gerimis sesekali masih terasa menyentuh pipi.  Udara dingin, taman dengan bunga mekar warna warni dan bangunan-bangunan klasik semakin mengentalkan rasa Eropa.


Banyak yang bisa dinikmati di tempat ini.  Kamu yang suka kuliner bisa mengunjungi Resto yang pernak pernik ornamennya Eropa banget dan menu-menunya juga lengkap dari lokal hingga menu khas eropa yang maknyus di lidah ada disini.



Yang suka fotografi, disini tempatnya spot-spot cantik ala Eropa dan kamu bisa jeprat jepret sepuasnya.

Yang suka selfie, kamupun bisa berselfie ria menggunakan kostum ala princes Eropa yang bisa disewa dengan harga yang sangat terjangkau, sekitar 50 ribu per kostum.





Atau kamu juga  bisa sekedar menikmati waktu bersama keluarga tercinta dengan menelusuri lorong-lorong taman yang indah, melihat detail rumah hobbit, duduk-duduk bersantai di sudut-sudut taman sembari menghirup hawa sejuk, menyegarkan mata sekaligus pikiran.


Tak terasa, senjapun usai diantara gerimis dan mendung.  Sayap malam mulai mengembang.  Lampu-lampu temaram di taman mulai menyala.  Membuat suasana menjadi semakin indah dan romantis.  Tapi sayang, pekat malam menggiring kami untuk segera beristirahat dan sebelum kembali ke hotel kami menyempatkan berbelanja souvenir yang dijajakan di atas mobil unik dengan beberapa anak tangga bertabur bunga.

Jujur, aku masih menyimpan rasa rindu di tempat ini.  Semoga ada kesempatan lagi untuk bisa kembali kesini.

###

Wassalam,

Nan Djabar

Selasa, 07 November 2017

Sekelumit Wajah Kuala Lumpur



Sekitar jam 8 malam waktu Malaysia, untuk pertama kalinya kakiku menginjak bumi Malaysia, tepatnya di Kuala Lumpur.  Badan cukup terasa pegal setelah perjalanan satu jam dari Singapur menuju Johor.  Singgah di LegoLand dan kemudian kembali berhenti di JPO (Johor Premium Outlet) hingga petang hari, kemudian selama tiga jam mobil melaju kencang membawa kami dari Johor menuju Kuala Lumpur.

Aku dan keluarga kecilku menginap di jalan Bukit Bintang, di sebuah hotel milik orang Bangladesh yang sudah memulai bisnisnya sekian puluh tahun yang lalu.

Memasuki kehidupan malam hari di Kota Kuala Lumpur, hampir tidak ada bedanya dengan kehidupan di ibukota Jakarta.  Hiruk pikuk kendaraan yang berjejal bercampur hilir mudik manusia masih memenuhi jalan-jalan utama.  Gemerlap lampu warna warni di sepanjang jalan, bising suara musik dari tempat hiburan dan restoran masih jelas terdengar memekakkan telinga.  Tentu pemandangan ini jauh dari yang aku bayangkan sebelumnya.

Setelah chek in dan menaruh koper di lantai 9, kami langsung turun dan berencana memenuhi hajat perut yang sejak tadi keroncongan.  Tidak sulit menemukan makanan disini.  Kiri kanan, depan belakang hotel tempat kami menginap adalah jalan-jalan utama yang berjejer restoran dan warung makan yang menawarkan menu-menu dari berbagai negara.  Dan yang paling menyenangkan disini semuanya dijamin halal.

Ada Restoran Thailand, Resto khas Melayu, Restoran Bangladesh, Arab, Pakistan, Jepang, India,  Cina sampai menu-menu barbeque ala Itali dan negeri Eropa lainnya ada disini.  Wah menakjubkan bukan? ini wisata kuliner terlengkap pertama kali yang aku kunjungi dalam satu lokasi.  Pantes aja kalo ada guyonan diantara orang Malaysia sendiri, kalo mereka meninggal karena kekenyangan makan...heehehhe

Malam itu kami memutuskan untuk menikmati masakan Thailand.  Alhamdulillah perut kenyang hatipun makin senang.

###


Aku bangun saat subuh bukan karena mendengar lantunan adzan, tapi suara hingar bingar dari bawah jendela kamar yang tak mengenal waktu istirahat membuat tidurku menjadi tidak berkualitas.  Kusibak tirai jendela kamar sembari mengarahkan pandangan ke bawah, kendaraan masih berlalu lalang, meski jumlahnya sedikit berkurang.  Sayup-sayup  masih terdengar alunan musik dari kejauhan, sepertinya kota ini tidak pernah tidur dan jauh dari rasa lelah, hmmm inikah potret Kuala Lumpur yang sebenarnya?? tanyaku membathin.

###

Usai menyantap sarapan pagi, aku, suami dan kedua putriku langsung menuju mobil yang sejak tadi sudah menunggu di halaman parkir hotel.  Karena kami menggunakan privat packet jadi waktu dan itinerary sangat fleksibel. Driver sekaligus guide siap menghantarkan kemanapun destinasi yang kami inginkan.

Aku makin penasaran dengan kota ini, Wisata Genting HighLand menjadi destinasi pertama  yang kami kunjungi.  Berharap tempat-tempat yang kami kunjungi sedikit memberikan gambaran atau jawaban dari rasa ingin tahu mengenai banyak hal tentang negeri tetangga ini.

Sky Way Genting HighLand                                                    

Genting HighLand merupakan wisata tanah tinggi Genting yang berada di ketinggian puncak gunung, sekitar 2000 meter di atas permukaan air laut.

Memasuki kawasan menuju Genting High Land, dimulai dengan cable car dan kemudian diteruskan dengan Sky Way atau kereta gantung yang membawa kami berselancar ke angkasa menikmati suasana Genting dari atas bukit.  Aku jadi teringat ketika mendaki Mount Titlis Switzerland beberapa tahun yang lalu dengan menggunakan cable car dan kereta gantung meskipun dengan iklim dan pemandangan yang sangat berbeda tentunya.

Menurut sejarahnya, cable car dan sky way Genting ini dinobatkan sebagai transportasi wisata tercepat dan terpanjang di Asia Tenggara.

Ada perasaan takjub mengingat negeri jiran ini adalah negara berkembang yang sangat dekat dengan Indonesia.  Tapi mereka bisa membangun kawasan wisata dengan teknologi canggih yang menyerap banyak wisatawan dari manca negara.  Padahal kalau dicermati tidak ada yang begitu istimewa dari wisata Genting Highland ini.  Apalagi kalau kita bandingkan dengan wisata pegunungan di Indonesia, jelas keindahan alam dan pegunungan di Indonesia lebih memikat dan mencengangkan.  Mungkin ini PR besar buat dinas kepariwisataan di Indonesia.

Tepat di puncak Genting HighLand, dimana semua wisatawan diturunkan dari kereta memasuki sebuah Mall besar yang siap menggoda para wisatawan untuk berbelanja dan berwisata kuliner.  Kebetulan saat itu area outdoornya sedang direnovasi sehingga kami hanya menikmati udara sejuk Genting dari dalam Mall.

Mall Genting

Dari Genting HighLand perjalanan kami lanjutkan ke Batu Caves di daerah Selangor, Malaysia.  Yang menarik di lokasi ini adalah anak tangga yang berjumlah 272 yang digunakan para wisatawan menuju puncak bukit kapur, gua dan kuil umat hindu dengan patung raksasa seorang dewa umat hindu setinggi 42,7 meter.

Batu Caves


Menjelang sore kami singgah di Istana Negara untuk photo stop.  Istana yang luas, bersih tapi sayang cuaca sangat terik sementara tidak banyak pohon-pohon untuk berlindung.
Dan sebelum kembali ke hotel, kami sempat mengintip pusat perbelanjaan duty free, tempat dijualnya barang-barang branded original dengan harga miring.  Kebanyakan yang dijual disini adalah jam tangan.

Istana Negara



###

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi wisata yang sudah tidak asing lagi di telinga, Menara Kembar Petronas.  Untuk masuk hingga ke puncak menara sebaiknya membeli tiket satu hari sebelumnya.  Harga tiket berkisar 130 RM/orang.



Sky Bridge

Megah, kesan pertama ketika memasuki ruang bagian dalam menara.  Sepasang menara yang dirancang oleh arsitek Argentina ini pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia pada periode 1998 hingga 2004 sebelum dilampaui oleh Burj Khalifa dan Taipei 101.

Tepat di lantai 41 terdapat Sky Bridge, jembatan yang menghubungkan bagian atas menara.  Dari bagian dalam jembatan yang berdinding kaca, pengunjung diberikan waktu 15 menit untuk berfoto dan menikmati pemandangan sebelum melanjutkan perjalanan ke lantai paling atas.

View dari Sky Bridge

Di puncak menara, di lantai 86 disediakan teleskop dan sofa-sofa untuk memberikan kenyamanan bagi para pengunjung agar bisa menikmati pemandangan di luar sana dengan suasana yang lebih santai bersama keluarga.

Lantai 86 Menara

Tersedia juga fasilitas game menara dengan layar lebar dan cafetaria yang menawarkan berbagai souvenir.

Dan sebelum meninggalkan kawasan menara, para pengunjung bisa berbelanja di lantai paling bawah di Suriah KLCC Mall dan pada bagian outdoornya terdapat taman  dengan air mancur simfonik yang sangat indah untuk dijadikan background foto.

Dari beberapa tempat yang kami kunjungi, jarang sekali aku temui orang asli melayu.  Bahkan di beberapa restoran yang kami singgahipun kebanyakan bule Eropa, Cina, Arab dan India.

Ini yang menurutku juga sangat menarik.  Guide kami yang asli orang melayu membenarkan realitas itu.  Kondisi multi ras di Kuala Lumpur tidak bisa dihindari, karena sejak Malaysia dijajah oleh Inggris, etnis Cina dan India mulai berdatangan baik sebagai pekerja ataupun berdagang.  Apalagi sekarang para tenaga kerja asing banyak berdatangan untuk mengadu nasib di negeri ini.  Jadilah negeri ini dengan wajah-wajah multi kultural.

Sampai disini, tertarik untuk mengunjungi Kuala Lumpur???

Sepertinya sudah terlalu banyak aku berceloteh, aku sudahi sampe disini dulu ya
sebenarnya masih banyak yang ingin aku tulis, mudah-mudahan next time bisa aku lanjutkan.

What ever, semoga tulisan ini ada manfaat...


"Let's making memories, 'cause time will never turn back"

Wassalam,

Nan Djabar



view dari lantai 41 (Sky Bridge)



Aku dan Lock Down-Virus Corona (Covid19)

Aku tiba-tiba merasa berada dalam dunia unreal, antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang aku alami saat ini. Tepatnya hari senin 1...