Selasa, 20 Oktober 2015

Sunrise Pulau Bira ; Antara Kisah dan Cerita Kita

Sunrise Pulau Bira ; Antara Kisah dan Cerita Kita.  Menapaki jembatan Pulau Bira yang panjang seperti sedang berjalan membelah lautan.  Jembatan kayu dengan lebar kurang lebih dua meter tetap memberikan kenyamanan ketika melintasinya meskipun tidak ada pegangan di bagian kiri kanannya.  Tidak ada rasa khawatir sedikitpun terjatuh ke air laut yang kedalamannya bisa membuat tenggelam bagi yang tidak bisa berenang. 

Angin laut bertiup kencang membelai kerudung dan gamis yang aku kenakan.  Kedua putriku berlari riang di atas jembatan.  Wajah teman-teman rombongan satu perjalananpun terlihat menampilkan aura kegembiraan. 

Kami terus menyusuri jembatan.  Mata tak habis-habisnya disuguhi keindahan bawah air laut yang memukau di sepanjang bawah jembatan.  Air yang begitu alami dengan tingkat kebeningan yang sempurna  membuat mata bisa menembus air dan menyaksikan warna warni karang dengan bentuk-bentuk yang indah.  Menakjubkan!!! 

Beberapa menit  kemudian, kami sampai di ujung jembatan.  Ada lobi yang cukup luas dan menghadap ke pantai.  Rombongan diarahkan oleh travel guide agar  berkumpul di lobi untuk diberikan briefing tentang itenarary pada hari itu.  Briefing sejenak kemudian dilanjutkan dengan acara foto masing-masing.
www.nanidjabar@gmail.com
Jembatan Pulau Bira

air laut bening dibawah jembatan
Air bening dibawah jembatan, karang-karang terlihat jelas

jembatan kayu pulau bira.  www.nanidjabar.blogspot.com
Berfoto di atas jembatan
Aku sedikit terkejut ketika memasuki cottage untuk menaruh barang-barang bawaan seperti ransel dan tas makanan ringan.  Aku pikir cottage ini terdiri dari beberapa kamar dan aku bersama keluargaku akan menempati satu kamar.  Ternyata tidak.  Cottage ini hanya terdiri dari dua ruangan besar yang disekat satu pintu untuk keluar masuk dari dan ke dua ruangan tersebut.  Masing-masing ruangan terdapat tiga tempat tidur  springbed, satu kamar mandi, satu meja rias beserta kursinya, satu stel sofa dan selintas semuanya terlihat tua berusia belasan tahun.

Ketika selesai menjelajah pulau dan tibalah waktu istirahat di cottage, aku baru benar-benar menyadari kalau cottage-cottage ini dibangun belasan atau mungkin puluhan tahun yang lalu.  Springbed yang sudah kusam, warna sofa yang sudah pias dan buram, ada bagian lantai kayu yang sudah keropos bahkan berlubang, dan jendela-jendela yang sudah lama tidak dibuka sehingga rapat menyatu dengan kusen.  Belum lagi kamar mandi yang terkesan angker karena watt lampu yang kecil, ditambah lagi bathtub  dan keran-keran yang sudah berkarat.  Sangat jelas cottage ini dibiarkan tidak terurus dan tidak pernah dirawat apalagi direnovasi. 

Tapi, aku dan keluarga sangat beruntung, karena teman-teman rombongan yang satu cottage adalah manusia-manusia baik yang meskipun berlimpah secara materi tapi tetap bersahaja dan penuh dengan rasa syukur dalam kondisi bagaimanapun.  Akhirnya, malampun kami lewatii dengan indah.  Berbincang, berbagi cerita dan tawa layaknya sebuah keluarga.

cottage kayu usia puluhan tahun
Cottage berbahan kayu usia belasan tahun
Saat keheningan fajar menyapa dan membangunkan aku dari lelap.  Tiada suara adzan berkumandang, hanya suara gemerisik ranting pohon ditiup angin pantai.  Aku tenggelam dalam syahdu memenuhi kewajibanku pada-Nya.  Tidak berapa lama aku menyibak tabir jendela, ingin memastikan apakah fajar sudah menyingsing, pertanda matahari sudah mulai menampakkan sinarnya.

Spot sunrise di Pulau Bira adalah saat-saat yang kami tunggu.  Aku beringsut mengambil kamera, segera ku-setting mode manual dan kami pun berangkat menuju arah timur Pulau Bira.

Tidak sampai sepuluh menit menelusuri jalan setapak dibawah pohon-pohon rindang, akhirnya kami menemukan sebuah jembatan kayu berbentuk huruf L menjorok ke laut  dan berhadapan langsung dengan posisi awal terbitnya matahari.

Sepertinya tempat ini memang didesain oleh pengelola agar para pengunjung dapat menyaksikan sunrise dan menikmati semburat langit merah kekuningan dari tempat yang pas dan nyaman.

Ternyata teman-teman satu rombongan sebagian sudah berhamburan di atas jembatan.  Ada yang hanya duduk di pinggir jembatan sambil mengayunkan kaki dan menghadapkan wajah ke arah sunrise, ada yang sibuk berfoto dengan memanfaatkan sunrise sebagai background, ada juga yang terpana melihat kejernihan air dan menyaksikan ikan-ikan yang sedang berenang dari atas jembatan.  Sementara aku dan keluarga sibuk mencari angle yang pas untuk mendapatkan foto-foto yang menarik untuk diabadikan.

mataari terbit berwarna kuning kemerahan
Sunrise Pulau Bira






Hangat mentari makin menusuk kulit, aku memutuskan untuk beranjak dari jembatan spot sunrise.  Kaki terus melangkah di jalan setapak. Matahari mengintip dari celah-celah rindangnya pohon.  Aku menebar pandang ke berbagai arah berharap ada spot-spot menarik yang bisa aku abadikan.

Aku kembali terkejut ketika mendapati ada kolam renang yang didalamnya terdapat air berwarna hijau pekat karena percampuran lumut dan kotoran yang menahun.  Kolam ini sangat besar, tapi sayang ilalang dan rumput-rumput liar berlomba memenuhi pingiran kolam. 

Aku terus berjalan sambil meredam tanya dan rasa penasaran.  Tidak jauh dari kolam juga terdapat lapangan golf yang sama rimbunnya ditumbuhi rumput-rumput liar.  Dan dari kejauhan aku bisa menyaksikan ada helipad atau lapangan tempat mendaratnya helikopter.  Mungkin ini yang membuat Pulau Bira dikenal sebagai Pulau untuk kalangan menengah atas.  Tapi, aku tambah bingung.

Akhirnya, semua pertanyaanku terjawab.  Ketika seorang bapak tua yang mengelola cottage ini berkisah tentang Pulau Bira di masa-masa kejayaannya pada tahun 90- an.
Pulau Bira pada masa awal pembangunannya adalah pulau milik keluarga presiden di masa itu.  Hampir di setiap hari libur atau di hari-hari biasa keluarga besar presiden acap kali menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di pulau ini.  dan tentu saja mereka tidak pernah merasakan bagaimana digoyang ombak saat berada di kapal speed boat.  Helikopter adalah alat transportasi yang membawa mereka mendarat di Pulau Bira.  Saat itu lalu lintas orang-orang menengah atas berkunjung ke Pulau Bira bisa dikatakan sangat padat.

karang warna warni
Air laut jernih alami

Ikan Pari di sela-sela karang

Warna laut yang bergradasi
Tetapi, sejak krisis moneter dan kekuasaan presiden tumbang, pengelola pulau ini diserahkan kepada anak perusahaan salah satu BUMN yang ada di negeri ini.  Sepertinya pengelola baru tidak fokus dan akhirnya, Pulau Bira yang elegan dan sangat prestisius di masanya menjadi seonggok kenangan yang menyisakan cerita di masa sekarang.

Waktu telah menyulap tempat yang sama menjadi sebuah realita yang berbeda.  Kisah pada masa itu sangat ironis dengan cerita kita hari ini.  Selamat Tinggal Pulau Bira, terimakasih sudah mengukir satu kenangan dalam perjalanan kami.  [Nani Djabar]

Selasa, 13 Oktober 2015

Jelajah Pulau, Menikmati Beragam Rasa

Jelajah Pulau, Menikmati Beragam Rasa.  Kabut pagi masih terasa, saat aku dan keluarga meninggalkan rumah menuju Marina Ancol.  Jalanan masih relatif sepi, jalan tol masih tidak terlalu padat.  Ban mobil kami menggilas aspal dengan kecepatan diatas 100km/jam.  Berharap bisa tepat waktu sampai  ke Marina Ancol, mengingat kapal Speed Boat akan mulai bergerak tepat jam 8 pagi.

Menikmati akhir pekan dengan menjelajah pulau-pulau di Kepulauan Seribu adalah tujuan perjalanan kami.  Tapi kali ini kami bersama rombongan dari travel agen, Java Travel World yang berjumlah 20 orang.  Berharap weekend kali ini bisa lebih seru dan menyenangkan dibanding ketika hanya aku dan keluarga-ku saja.
Sekitar jam 7 pagi, mobil kami telah merapat di Gerbang Pintu Barat Ancol.  Seorang personil Java Travel World telah menunggu disana untuk  membagikan kupon gratis masuk ancol.

Mobil kami bergerak mengikuti papan penunjuk arah menuju Dermaga Marina.  Selang beberapa menit,  kapal-kapal Speed Boat mulai Nampak dari kejauhan, pertanda Dermaga sudah di depan mata. 

Setelah mencari parkir mobil di tempat yang aman untuk bermalam, kami berjalan menuju Dermaga dengan membawa tas ransel masing-masing.  Mulai terlihat hilir mudik para calon wisatawan baik lokal maupun asing.  Satu persatu Dermaga kami lalui, Dermaga 16 yang sedang kami tuju ternyata cukup jauh dari tempat parkir mobil. 

Tak satupun personil Java Travel kami temui di Dermaga 16, padahal jam sudah bergeser lima belas menit dari angka 7.  Sambil menunggu anggota rombongan dan  pihak Java Travel, aku manfaatkan untuk mengambil gambar kapal-kapal Speed Boat yang sedang bersandar di Pelabuhan Marina.   Cukup terik matahari pagi saat itu.  Peluh pun mulai terasa di kulit.


www.nanidjabar.blogspot.com
Kapal Speed Boat

Darmaga 16
Dermaga 16
Menit ke menit terus bergulir, satu persatu anggota rombongan kami berdatangan.  Reza-Travel Guide, menyapa dan memperkenalkan beberapa orang yang akan berangkat bersama rombongan kami.  Aku melihat wajah-wajah tersenyum dibalik keramahan bertegur sapa.  Dan kamipun  terlibat dalam obrolan ringan.

 Matahari pagi makin terasa sengatannya, udara pantai pelabuhan terasa begitu gersang ditengah kerumunan orang-orang  yang masih terlihat sebagian hilir mudik.   Ah, rasanya sudah tidak sabar  ingin mengarungi lautan, merasakan udara laut yang kencang menerpa-nerpa wajah.

Aku mengarahkan pandangan ke deretan kapal speed boat yang sedang tertambat.   Kapal-kapal itu tidak diam, oleng ke kanan dan kiri.  Ada kursi pengemudi di lantai atas. Dan di belakang pengemudi tersedia empat kursi untuk penumpang yang berani berada di ketinggian.  Aku tidak bisa membayangkan, jika aku menempati salah satu kursi penumpang saat kapal sedang berjalan.  Seperti sedang berselancar menggunakan banana boat di tengah lautan yang dalam.  Tapi ini bukan banana boat yang seru itu, tentu tidak menarik buatku.

Jam delapan, kami dan seluruh rombongan sudah berada di atas kapal.   Tentu saja aku memilih tempat duduk di lantai bawah, dalam ruangan ber AC, bersih dan tempat duduk yang empuk berbusa.

Setengah jam terlewati, semua diam membisu.  Hanya suara ombak yang terdengar menderu-deru dari balik dinding kapal.  Kapal mulai bergoyang tak beraturan.  Naik turun dengan goncangan yang keras dan mengaduk-ngaduk isi perut.  Aku mulai merasa tidak nyaman.   Apalagi ingat Mas Reza mengatakan kalau perjalanan memakan waktu tempuh sekitar 3 jam.  Haduh, masih lama sekali aku harus tersiksa dalam kondisi seperti ini.

Hampir menyentuh satu jam perjalanan, ternyata bukan hanya aku yang mengeluh tidak nyaman.  Seorang wanita yang persis duduk di depan aku juga mengeluhkan hal yang sama.  Dia menawarkan obat anti mabuk yang aku sambut dengan senang hati.  Glek, obat anti mabuk sudah kupastikan sampai di perut dan berharap ketidaknyamanan ini segera berakhir.  Menit-menit berputar  terasa begitu lama.  Sementara ombak di luar sana sepertinya makin keras, kapal speed boat yang aku tumpangi melaju makin kencang dari sebelumnya.  Isi perutku rasanya sudah mulai mendesak naik ke dada.  Aku sudah menyiapkan  kantong plastik khawatir aku tak sanggup lagi untuk menahan isi perut agar tidak keluar.

Satu setengah jam sudah, kami berada di tengah lautan.  Aku memejamkan mata, berharap kantuk bisa meminimalisir rasa mual dan pusing.  Kurasai, kapal speed boat kami berjalan makin lambat.  Dan seketika aku membuka mata, samar-samar kulihat ada pohon-pohon hijau di pinggiran pantai.  Ada jembatan kayu yang panjang semakin mendekat.  Mas Reza bangkit dari tempat duduknya. 

“Kita sudah sampai,” teriaknya sambil mengintip ke jendela.

Aku terperangah, melirik ke jam yang ada di pergelangan tanganku.  Baru 1,5 jam perjalanan.  Aku memasang muka tidak percaya di hadapan Mas Reza.

“Benar,  kita sudah sampai, kecepatan kapal sangat tinggi, mari kita keluar ,” ajaknya kepada seluruh rombongan.

Aku langsung berdiri dan benar saja, kapal speed boat kami sudah ditambatkan.  Pintu kapal sudah dibuka, dihadapan kami jembatan panjang pelabuhan sudah menanti untuk diinjak.


Haps, aku melompat dari tepi kapal ke atas jembatan kayu yang lebarnya sekitar dua meter.  Kutarik nafas dalam-dalam, sambil sesekali merentangkan tangan menghirup udara segar di alam lepas lautan.  Seketika, rasa pusing dan mual menguap entah kemana.  Alhamdulillah.

Teman-teman satu rombongan berhamburan keluar kapal.  Terlihat jelas wajah-wajah riang ketika berada di atas jembatan.  Sesi foto-foto pun tak mungkin terlewatkan. 

jembatan kayu yang panjang
Berlabuh di Dermaga Pulau Bira


pulau bira kep. seribu
Jembatan menuju Pulau Bira
Ini jembatan pelabuhan Pulau Bira, pulau yang dipilih Java Travel sebagai tempat bermalam setelah letih menjelajah pulau.  Pulau tak berpenghuni.  Sunyi senyap dan menenangkan.  Apalagi kapal kami adalah kapal pertama yang bersandar pada hari itu.

Keheningan itu makin terasa ketika kami memasuki area cottage.  Pohon-pohon besar rindang diperkirakan usia puluhan tahun berjejer di pingggiran pantai.  Cottage-cottage berdiri menghadap ke pantai.  Ada puluhan cottage di pulau ini.  Tapi semuanya terlihat kosong, dan terkesan sedikit suram.

sepi dan menenangkan
Pulau Bira, menuju Cottage

Usai makan siang dan sholat dzuhur, kegiatan menjelajah pulau dimulai.

Pihak Java Travel menyediakan dua perahu jelajah, satu untuk rombongan wanita dan satu lagi untuk  rombongan pria.  Pulau pertama yang disambangi adalah Pulau Macan.   Pulau yang terkenal dengan resortnya ini memang menawan.  Sangat tepat untuk para wisatawan berkantong tebal yang ingin menikmati ‘surga’ di pulau impian.  Tapi sayang, rombongan kami hanya melakukan aktivitas snorkeling di pulau ini. 

pulau macan
Snorkeling di Pulau Macan



Setelah puas bersnorkeling ria, perjalanan kami lanjutkan ke Pulau Tongkeng.  Berlabuh di Dermaga Pulau Tongkeng serasa berlabuh di Pulau Pribadi.  Air laut terhampar luas di depan mata, warnanya bergradasi hijau, biru bersanding dengan warna putih pasir yang halus dan bersih.  Batu-batu karang jelas terlihat dari permukaan air, menandakan air di pulau ini masih alami, belum tercemar sama sekali.  Setiap kali menyaksikan karang warna warni dibalik air yang bening, setiap itu pula aku merasa berada di dalam sebuah akuarium raksasa alam semesta.  Sesi foto-foto pun berlanjut.

Dermaga Pulau Tongkeng
Dermaga Pulau Tongkeng

Pinggir Pantai Pulau Tongkeng
Lepas dari Pulau Tongkeng, jelajah selanjutnya adalah ke Pulau Dolpin. 

Hanya kurang lima belas menit, perahu yang kami tumpangi sudah mendarat di Dermaga Pulau Dolpin.  Sayang perahu kandas.  Kami terpaksa harus turun dari perahu dan berbasah-basahan selutut karena perahu tidak bisa menyentuh langsung bibir pantai.

Pulau Dolpin berbeda dengan pulau-pulau lainnya.  Pulau ini menjadi transit para wisatawan untuk  melepas lapar setelah berputar ke beberapa pulau tak berpenghuni.  Disini tersedia banyak jajanan ringan dan berat.  Atau singgah sejenak untuk memanjakan lidah dengan es kelapa yang segar sambil menikmati sepoi-sepoi angin pantai, menjadi pilihan yang tepat.


Pulau Dolpin tempat transit wisatawan
Pulau Dolpin

Tidak lama kami berada di Pulau Dolpin ini, karena  kami ingin menghabiskan waktu sore dengan menyaksikan sunset di Pulau Perak.

Dan perjalananpun berlanjut ke Pulau Perak.
Sampai di Pulau Perak, bias merah langit mulai terlihat.  Suasana di pulau ini cukup ramai.  Sepertinya banyak para wisatawan yang sengaja menanti sunset dan memanfaatkan saat-saat terbenamnya matahari untuk berfoto ria.  Pantainya yang landai dan menantang arah tenggelamnya matahari,  pasir putih halus dan air yang jernih merupakan kombinasi yang pas untuk bermain-main menceburkan diri di pantai.  Untuk yang berani, bisa memilih permainan banana boat yang seru dan dijamin ketagihan setelah melakukannya.

Untuk anak-anak, di pinggiran pantai diatas permukaan butiran pasir putih yang halus terdapat ayunan yang bisa dijadikan alternatif hiburan setelah puas bermain di air.

saat-saat tenggelamnya matahari
Sunset di Pulau Perak


Ah, tak terasa langit mulai gelap samar-samar.  Badanpun mulai terasa letih.  Sudah saatnya beristirahat, melemaskan otot-otot agar esok hari bisa melanjutkan itenarary berikutnya.  Perahu kamipun melaju perlahan, kembali menuju ke Pulau Bira, pulau tempat peristirahatan.  [Nani Djabar]

Minggu, 04 Oktober 2015

Mengutuk Kabut Asap atas nama Kemanusiaan

www.nanidjabar.blogspot.com
sumber gambar : internet
Mengutuk Kabut Asap atas nama Kemanusiaan.  Sabtu pagi 2 Oktober, tidak hanya miris tapi hati serasa teriris membaca berita di halaman pertama Harian Kompas yang bertajuk “Korban Kabut Asap Terus Bertambah”, diberitakan dua korban meninggal akibat terlalu banyak menghirup asap.  Sontak, rasa keibuanku tersentuh, air matapun menitik. “Keterlaluan”, geramku dalam hati.

Sejak Juli, hingga memasuki Oktober tercatat 44.211 warga Riau terjangkit ISPA, dan dalam  tiga pekan terakhir jumlah penderita ISPA meningkat lebih dari 250%.  Di Jambi jumlah penderita ISPA pada September mencapai 40.786 atau meningkat dua kali lipat dibanding Agustus yang mencapai 27.800.  Begitu juga di Kalimantan Tengah dan Palembang, hingga Oktober jumlah penderita ISPA dan Pneumonia berat terus bertambah. (Kompas 2/10).

Itu yang tercatat.  Masih banyak fakta di lapangan yang tidak tersentuh oleh media.   Warga yang terkena dampak kabut asap tidak semuanya dari kalangan yang mampu mengunjungi dokter atau rumah sakit.  Karena alasan ekonomi mereka hanya bisa mencegah dengan obat-obat warung yang belum tentu tepat penggunaanya atau bisa jadi berpasrah pada keadaan sehingga wajar jika kematian merenggut ketika mereka sedang berada di kebun atau sawah milik mereka.  Tragis!!!

Sungguh naïf dan tidak berprikemanusiaan ketika masih ada yang nyinyir mengatakan bahwa teriakan dan jeritan dari berbagai pihak sebagai upaya mendiskreditkan pemerintahan saat ini.

Pake hati nurani  dong ! saya punya kerabat dan teman-teman yang berada di daerah yang terkena kabut asap.  Mata mereka perih, tenggorokan sakit, yang sedang hamil khawatir dengan janin di perutnya, yang punya bayi sedih melihat dada anaknya kembang kempis susah bernafas, para manula  terserang batuk akut, banyak aktivitas tertunda, anak-anak tidak bisa sekolah, lalu lintas darat udara terganggu dan masih banyak lagi dampak-dampak negatif secara materil dan imateril yang tidak akan cukup dituliskan dalam berlembar-lembar kertas…. Mereka menunggu dan menunggu kapan kehidupan mereka bisa normal kembali.

Kalau sudah begini,  siapa yang patut disalahkan???

Saya terlalu bodoh dan tidak cerdas untuk memahami aktor dibalik sandiwara kabut asap ini.  Apalagi untuk mengetahui siapa sesungguhnya sang sutradara?

Tidak sepenuhnya benar jika kabut asap ini dikatakan sebagai bencana.  Mari kita renungkan bersama firman Allah berikut ini :

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.  Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar" (Qs Ar-Rum : 41).

Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, membakar hutan atau lahan adalah cara yang paling ekonomis untuk membuka lahan baru.  Tapi mengapa baru sekarang fenomena kabut asap menjadi sedemikian dahsyat??? Apakah karena tingkat keserakahan manusia yang semakin meningkat dan meluas??? Bisa jadi!!!
Ketika hutan/lahan yang seyogyanya adalah milik publik dijadikan sarana empuk untuk mengisi kantong-kantong pribadi. Pembakaran hutan/lahan telah menjadi “kejahatan terorganisir” dimana ada kelompok-kelompok yang jelas pembagian tugasnya dan masing-masing mendapatkan persentase keuntungan baik secara individu maupun korporasi.   Rantai keserakahan ini terus berlanjut, membuat para pelakunya haus dan haus untuk meraup keuntungan yang lebih besar.   Dan hal yang paling menyulitkan untuk ditegakkannya hukum adalah ternyata para aktor ini mempunyai hubungan dengan orang-orang kuat, baik di tingkat kabupaten, nasional bahkan diatasnya.  Sungguh mengerikan!!!

Lalu apa yang bisa kita lakukan???

Saya sangat menghargai upaya dari saudara-saudara kita yang perduli untuk meminimalisir  dampak negatif kabut asap dengan membagikan masker (meskipun pengajuan masker N95 tidak digubris oleh pemerintah pusat), menanam pohon yang bisa memfilter kabut asap, anjuran minum banyak air putih, mengurangi aktivitas di luar dan sebagainya.  Tapi semua itu tidak akan mnyelesaikan masalah jika sumber akar masalahnya tidak dihentikan.

Sebelum lebih banyak lagi korban, mari kita suarakan kepedulian, desak pemerintah untuk mengedepankan hati nurani.  Bertindak tegas, tegakkan hukum tanpa pandang bulu, telusuri para aktor illegal, tangkap, cabut izin usaha korporasi, tuntut ke pengadilan secara pidana atau perdata.

Sesungguhnya, sangat mudah bagi Allah untuk menurunkan hujan dan menyapu kabut asap dalam sekejap…..tetapi, sejauh mana kita perduli dan bertindak nyata??? [Nani Djabar]



#SaveHutanIndonesia
#BloggerMuslimah
#SpecialBlogWalking

Sumber bacaan tambahan :

dan lain-lain

Aku dan Lock Down-Virus Corona (Covid19)

Aku tiba-tiba merasa berada dalam dunia unreal, antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang aku alami saat ini. Tepatnya hari senin 1...