Seketika rindu itu membuncah karena hampir
satu setengah tahun aku tidak melihat dan merasakan aroma laut. Selain karena memang kondisiku yang saat itu
sedang hamil di usia kepala empat, sehingga aku harus menjaga janinku lebih
ekstra. Dan juga karena si sulung yang sudah mulai asyik tenggelam dengan berbagai
aktivitas di kampusnya, semakin banyak kegiatan dan semakin sulit untuk mencari
waktu libur bersamaan.
Menerima dan sabar begitulah kira-kira
kata yang sering aku gemakan untuk diriku sendiri ketika keinginan untuk
menikmati laut tiba-tiba menyeruak, semua akan ada saatnya, imbuhku menghibur
diri.
Tanpa aku duga, menjelang weekend beberapa bulan yang lalu, si
sulung menelpon dan mengatakan bahwa akhir pekan dia tidak ada kegiatan dan
bisa pulang ke rumah. Berita ini membuat
aku berbinar-binar, apalagi baru beberapa bulan putri bungsuku di panggil Allah
membuat kondisi psikisku belum seutuhnya pulih ditambah lagi aku terserang baby blues yang cukup berat, kala itu.
Langsung ku utarakan keinginanku untuk
menikmati weekend di pinggir pantai,
seperti biasa anak sulungku menyambut dengan suka cita dan tentu saja suami
dan putri keduaku pun serta merta mengiyakan.
Seringkali, kami belum tahu pantai
mana yang ingin kami tuju sementara waktu sudah sangat mepet dan segala
sesuatunya belum disiapkan??
Aku langsung semangat berselancar di
dunia maya mencari kira-kira mana pantai
yang belum kami kunjungi di sekitar jawa barat. Setelah klik
sana sini aku memutuskan pilihan untuk mengunjungi Pulau Umang, dengan
pertimbangan masih bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat, dan berdasarkan
beberapa review yang aku baca, pulau
ini adalah pulau eksotis dengan fasilitas lengkap yang dirancang oleh pihak
swasta untuk menikmati liburan nyaman di tengah laut. Hmm, menarik bukan??
Pulau Umang adalah pulau yang terletak di
provinsi Banten, persisnya berdekatan
dengan Ujung Kulon. Luas Pulau Umang ini
mencapai 5 Ha, berbatasan langsung dengan Selat Sunda dengan kisaran ombak yang
relatif kecil dibandingkan dengan ombak selatan yang terkenal berarus kuat.
Kami memulai perjalanan sebelum sunrise, lebih kurang 7 jam perjalanan
dengan kecepatan normal melewati jalur tol Jakarta –Merak, kemudian keluar
gerbang tol Cilegon Barat dan seterusnya menyusuri wilayah pesisir Anyer hingga
tiba di Labuan dan mengikuti jalur menuju Desa Sumur. Di Desa Sumur persis di
pinggir pantai terdapat loket penyeberangan menuju Pulau Umang. Dan disini juga disediakan lahan parkir untuk
para pengunjung yang dijaga keamanannya oleh pihak Resort Pulau Umang.
Karena kami sudah booking tempat/cottage
di Pulau Umang maka kami sudah tidak lagi dipungut biaya penyeberangan sebesar
100 ribu/orang.
Lebih kurang 7 menit berada di speed boat
terbuka tanpa atap, menuju Pulau Umang.
Riak air laut yang bening tersapu laju speed boat, udara khas laut yang
menampar-nampar pipi dan pemandangan hijau di pulau depan sana merupakan
kombinasi sempurna menuntaskan kerinduanku pada laut, Subhanallah bahagia itu
sangat mudah, jika kita mudah bersyukur. Alhamdulillah…
Sampai di darmaga kami disambut hangat
oleh pihak cottage Pulau Umang. Barang-barang
diturunkan dari speed boat dan seorang wanita menyapa dengan senyum ramah
mengajak kami menyusuri jembatan menuju lobi.
Di lobi, kami dipersilahkan beristirahat sejenak sambil menikmati welcome drink berupa orange juice segar.
Aku menyandarkan punggung di sofa empuk
yang warnanya sudah mulai pudar di makan waktu.
Mataku menyapu ke semua sudut lobi yang luas terbuka tanpa dinding. Sepertinya memang sengaja didesain terbuka
agar para pengunjung tetap bisa merasakan sensasi udara dan view pantai yang hanya berjarak beberapa
puluh meter saja.
Lantai, tiang-tiang lobi, atap, jendela
dan semua kontruksinya berbahan dasar kayu.
Terlihat klasik dan dirancang dengan penuh perencanaan. Tapi sayang, kurang menarik di mataku karena
semuanya terlihat sudah sangat berusia dan kurang mendapatkan perawatan dengan
baik.
Selang beberapa menit kemudian kami
diantar oleh petugas untuk beristirahat di kamar cottage yang sudah kami
booking sebelumnya.
Melewati hutan kecil, taman-taman bunga
yang sepertinya sudah lama tidak tersentuh tangan manusia. Daun-daun kering bertebaran di jalan setapak
diantara ayunan langkah kaki dan semak-semak yang mulai rimbun, sampailah kami
di cottage yang desainnya seperti rumah semi panggung dengan dua lantai. Selintas terlihat klasik karena semuanya dominan
berbahan kayu.
Kesan pertama memasuki kamar cottage ini
luas dan klasik. Toiletnya juga sangat
luas dan terkesan menyatu dengan alam karena atapnya yang tinggi dan lantai
yang berbahanbatu-batu alam didesain sedemikian rupa seolah-olah sedang berada
di alam terbuka. Tapi, lagi-lagi aku
mengernyitkan dahi. Karena semuanya
terlihat sudah sangat usang dan tidak terawat.
Apalagi ketika jari-jariku bisa melukis sesuatu di atas meja yang
dilapisi butiran debu, hmmm… dan kami
pun saling berpandangan kemudian menyunggingkan senyum. Itulah kami! Bersyukur dan menerima semua
keadaan dengan senyum bahagia ketika melakukan traveling kemanapun meski
kondisinya dibawah ekspektasi kami.
Tak terasa sore menjelang. Aku bergegas keluar dari cottage. Teras cottage yang hanya berjarak beberapa
meter saja dengan bibir pantai menjadi sebuah view yang sangat memikat.
Suara ombak yang menderu-deru, sesekali
ditimpali kicau burung di pepohonan dan menyaksikan batu-batu karang dengan beragam
bentuk uniknya membuat suasana sore itu semakin menyenangkan.
Senjapun menjelang. Gerimis meningkahi bumi dan langit berkabut
awan hitam. Aku kesana kemari
mencari-cari posisi yang memungkinkan kedua bola mata menyaksikan pijar-pijar
warna jingga keemasan. Sampai jari-jari
kakiku berteriak perih, tak kutemukan bias warna mentari.
***
Malam di Pulau Umang, terasa begitu
pekat. Hanya diterangi lampu-lampu taman
kami menyusuri jalan setapak untuk makan malam di restoran. Sedikit berdiri bulu kuduk, apalagi setelah
sempat menyaksikan beberapa bayi komodo melintas diantara semak-semak.
Saat itu restoran cukup ramai dipenuhi
para pengunjung dari satu perusahaan yang sedang mengadakan family gathering. Suara gaduh obrolan, tawa dan musik bercampur
jadi satu membuat telingaku bising. Aku
kurang nyaman dengan suasana seperti ini.
Aku dan keluargaku mengambil posisi meja di ruangan yang berbeda,
berharap tidak terlalu terdengar hingar bingar suara alunan musik dari
depan. Kupercepat suap demi suapan,
kedua putri dan suamiku juga demikian, dan akhirnya kami menikmati suasana malam
di kamar cottage ditemani suara ombak yang menghempas karang dan sesekali
terdengar alunan suara jangkrik dan binatang-binatang malam. Ah, serasa sedang bermalam di tengah hutan
belantara.
***
Sunrise adalah saat-saat yang paling aku
tunggu. Usai sholat subuh aku mengintip
ke jendela memastikan apakah cuaca berpihak padaku dan aku bisa memainkan
kameraku untuk menangkap keindahan saat-saat menjelang matahari terbit. Dan sepertinya aku harus kembali mengelus
dada, cuaca tidak secerah yang aku inginkan.
Kami menelusuri tepian pulau. Berkeliling sembari menikmati udara pagi dan
birunya air laut.
Airnya yang bening kebiruan, kadang sedikit
kehijauan ketika diterpa mentari cukuplah menunjukkan bahwa tempat ini masih
alami dan belum tercemar. Pasirnya halus
berwarna putih, koral warna warni bertebaran di tepian pantai bahkan tumbuhan
hijau seperti lumut dan sejenisnya terlihat jelas di kedalaman selutut orang
dewasa.
Langkah kaki kami terus berayun sambil
sesekali mengambil gambar. Ada sisa-sisa
pohon bakau yang masih bertahan di pinggiran pantai. Beberapa hanyut ke tengah, mungkin terbawa arus
saat air pasang, tetapi tetap kokoh berdiri membentuk pulau kecil yang justru
terlihat unik dan indah dipandang mata.
Tak terasa, setengah pulau sudah kami
telusuri, dan kami masih ingin terus berjalan mengitari semuanya.
Di bagian paling belakang, beberapa
cottage terlihat sangat kotor, bahkan semak-semak yang berjuntai memanjang
seolah berlomba untuk menutupi atap cottage.
Sayang sekali, sepertinya pulau ini sangat kurang terawat. Padahal dari batu peresmian yang aku temukan
di sekitar taman, pulau ini baru diresmikan oleh Gubernur Banten pada tahun
2010, sekitar 7 tahun yang lalu.
Aku prediksi, di awal-awal tahun
peresmian, pulau ini adalah pulau eksotis dengan fasilitas mewah yang sangat
nyaman dan bergengsi. Itu sangat jelas
terlihat dari lengkapnya fasilitas dan gaya bangunan yang sangat mengutamakan
kenyamanan pengunjung. Sekali lagi
sangat disayangkan karena kurang perawatan sehingga semuanya terkesan
terbengkalai. Konon katanya pemilik
pulau beralih ke bisnis lain yang lebih menjanjikan sehingga Pulau Umang kurang
mendapat perhatian.
Pada sisi pulau berikutnya terdapat gazebo-gazebo
yang menghadap ke pantai dengan hamparan pasir yang luas. Anak-anak bisa bermain pasir dan air disini
dengan aman. Ada juga taman bermain yang khusus diperuntukkan anak usia 5 tahun
ke bawah, berupa ayunan, prosotan dan lain-lain.
Tidak jauh dari gazebo disediakan
kursi-kursi pantai tempat bersandar menikmati alam. Ada café kecil yang menyediakan makanan
ringan dan pohon-pohon kelapa menjulang menambah suasana santai semakin menyenangkan.
Disini juga disediakan olahraga air
seperti banana boat, snorkeling dan sky pantai bagi pengunjung yang berminat.
Dan di bagian depan, tidak jauh dari lobi
terdapat kolam renang yang didesain seolah menyatu dengan air laut. Para pengunjung banyak yang menghabiskan
waktu pagi atau sore dengan berenang di kolam terbuka tersebut.
Akhirnya, tuntas sudah rasa penasaran ini
untuk mengelilingi Pulau Umang.
Aku duduk santai di salah satu kursi di
bawah pohon-pohon kelapa. Sambil
mengutak atik foto-foto yang ada di kamera, senyumku mengembang menyaksikan
dari kejauhan kedua putriku dan suamiku asyik bermain badminton dan sesekali
bermain bola pantai. Hidup terasa
sempurna ketika kita bisa saling berbagi tawa dengan orang-orang terkasih.
Waktu begitu cepat berlari. Sarapan pagi telah terhidang di resto untuk
dinikmati oleh para pengunjung.
Menjelang tengah hari, setelah makan siang
dengan beragam menu kombinasi Asia-Eropa, kami memutuskan untuk memulai
perjalanan kembali ke rumah.
Bagi kami, semua perjalanan itu
indah. Perjalanan jugalah yang banyak
mengajarkan kepada kami tentang rasa syukur, mandiri, disiplin, kepedulian, kesabaran dan ketangguhan. Maka, berjalanlah…karena sesungguhnya hidup
ini adalah perjalanan. [Nani Djabar]
***