Rabu, 24 Agustus 2016

Wisata Mount Titlis


        Alhamdulillah... tulisan perjalananku bersama keluarga tercinta dimuat di majalah paras edisi bulan mei 2016, edisi unruk  bacaan selama bulan romadhon, kira-kira begitu kata redaksi Paras.

Sebuah perjalanan yang sangat berkesan buat keluarga kami, karena mengunjungi belahan bumi Allah yang bernama Swiss ini tidak hanya sekedar traveling...tapi lebih dari itu.   Perjalanan yang sesunguhnya banyak menempa diri kami untuk menjadi manusia yang pandai bersyukur... cerdas menikmati alam dan menjejaki Kekuasaan-Nya..hingga berharap menjadikan kami manusia2 yang semakin dekat, taat dan menjadi kekasih2Nya di akhirat kelak.  Terimakasih Paras...semoga banyak menginspirasi..

Nan

Selasa, 12 April 2016

[Cerpen] "Aku, Perempuan di Batas Mimpi"

☆☆☆cerpen ini masuk dalam writers club majalah femina dan dimuat dalam website majalah femina☆☆☆

Deg!  Jantungku berdetak kencang, iramanya tak senada, semakin berdebar-debar.  Darah hangat seakan mengaliri setiap lekuk tubuh, mulutku terperangah, tak kuasa mengedipkan mata.  Tiba-tiba pulpen terjatuh dari sela-sela jariku.  Aku tersadar, melirik ke kanan dan ke kiri, betapa semua mata tertuju padaku.  Hmm, aku salah tingkah!

                                                                       ***

 Keriuhan para penumpang yang berdesakan tak mampu mengalihkan pikiranku pada kejadian tadi pagi.  Kereta ekonomi yang bergerak dari stasiun kota menuju Depok, tempat kost-ku terasa berjalan begitu cepat.  Sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya.  Biasanya keletihanku seharian di tempat kerja sudah menjadikan kaki ini enggan melangkah memasuki gerbong.  Tapi hari ini tidak!  Aku begitu bersemangat mengikuti aliran manusia yang berlomba dan bersikut untuk masuk duluan ke dalam gerbong.  Setelah berhasil masuk, aku tidak perduli apakah ada tempat duduk kosong atau tidak.  Aku masih asyik dengan pikiranku yang melayang tak berkesudahan memikirkan kejadian tadi pagi.

 Aku berdiri diantara kerumunan penumpang yang lain.  Tangan kiriku menjepit tas di dada, sementara tangan kananku berpegang di sisi jendela kereta.

 Apa yang telah terjadi denganku???

Entahlah, pesona laki-laki itu begitu dahsyat, bagai magnet yang menarik semua indera yang kumiliki.  Sosok putih bersahaja, dengan tas diselempang di bahu, tinggi sedang dan ada jenggot yang menghiasi dagunya.  Di luar sadar, aku sontak terpana ketika sosok itu tiba-tiba muncul  dari balik pintu dan mengucapkan salam dengan penuh wibawa.

 Rapat pagi itu kujalani sekenanya, sebagai notulen aku tetap berusaha menjalankan tugasku sebagaimana mestinya.  Meskipun teman-teman yang hadir melihat sikap dan tingkahku yang tidak seperti biasanya.

 Aku melompat dengan cekatan ketika kereta berhenti di stasiun kukusan Depok.  Langkah-langkah kakiku begitu ringan menuju tempat pangkalan ojek.  Sepuluh menit kemudian motor ojek telah menghantarkan aku persis di depan tempat kost-ku.  Dengan wajah ceria, sengaja aku berikan uang lebih kepada tukang ojek.

 “Nggak usah, lebihnya buat Abang,” kataku cepat ketika melihat tukang ojek tersebut merogoh sakunya untuk mencari uang kembalian.

 Wajah tukang ojek tersebut sumringah seolah menyimpan pertanyaan yang tak terungkapkan.  Ia hanya mengulas senyum dan memutar balik motornya setelah berujar terimakasih.

                                                           ***

 Wajah itu  begitu mirip dengan sosok pemuda yang berkali hadir dalam mimpiku.  Persis, itu tepatnya.  Bibirku tertarik ke atas saat mengeluarkan handphone dari tas ke atas meja belajar kecilku.  Aku akan punya jawaban ketika emak kembali mengusung pertanyaan yang sama.

 Dengan malas ku buka lembar demi lembar diktat linguistik.  Wajah laki-laki itu bertebaran diantara suku kata, bahkan menyelinap diantara paragraf-paragraf yang terlewatkan tanpa kupahami maknanya.

 “Sampai kapan kau menunggu laki-laki yang hadir dalam mimpimu itu?” Tanya emak saat aku berargumen menolak laki-laki yang ia sodorkan untuk menjadi menantunya.

 Teman-temanku di pasca sarjana acap terkekeh dengan sedikit meledek ketika aku katakan bahwa laki-laki dalam mimpi itu yang akan menjadi pendamping hidupku kelak, ia akan datang tanpa aku tahu kapan waktunya.  Entahlah, setiap kali ada laki-laki yang ingin melamarku, laki-laki misterius itu selalu hadir dalam tidurku.  Sorot matanya menyiratkan kalau ia sangat menginginkan aku, senyum dan anggukannya menggetarkan jantungku.  Ia berkali melambaikan tangan tak rela saat aku memalingkan muka darinya.

 Mimpi itu hadir sejak aku kuliah tingkat tiga di S1.  Tepatnya ketika ada seorang lelaki teman satu kepengurusan di senat menyampaikan keinginannya untuk meminangku.  Di kampusku, menikah sebelum usai kuliah itu sebuah pemandangan yang biasa.  Tapi, kala itu saat hasrat jiwaku mengatakan iya, tiba-tiba untuk kali pertama laki-laki misterius itu hadir mengganggu tidurku, berkali-kali.  Mulanya aku tidak begitu memperdulikan mimpi itu, aku anggap itu hanyalah bunga tidur yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan realita yang kuhadapi.  Tapi, mimpi itu seolah tak rela dianggap angin lalu.  Ia hadir tak terhitung kalinya dan menobrak logika akal sehatku.

 Benar saja apa yang aku duga.  Emak kembali menelponku.  Getar suara seorang nenek yang tak bercucu kembali melontarkan pertanyaan yang sama.  Kali ini aku lebih percaya diri memberikan jawaban.

 “Emak tenang saja, aku telah bertemu dengan laki-laki yang kerap hadir dalam mimpiku itu.”

 “Hah, apa Emak tidak salah dengar, terus kapan kau akan membawanya kemari, menikah di kampung halaman tempat kau dilahirkan,” suara emak terdengar terbahak riang.  “Emak akan segera punya cucu, kau pasti bisa melahirkan anak banyak, tidak seperti isteri abangmu yang mandul itu,”  suara emak tersekat.

 Aku sangat memahami keinginan emak, sejak bapak meninggal tiga tahun yang lalu, hidup emak nyaris tak bersemangat.  Satu-satunya abangku yang masih tinggal di kampung memutuskan untuk tinggal bersama emak.  Tapi kehadirannya tak jua bisa menghibur emak.  Pasalnya sudah beberapa tahun menikah belum juga dikaruniahi keturunan.  Tinggal aku yang jadi tumpuan harapan emak.

 Dua tahun terlewati, aku berhasil menyelesaikan pasca sarjanaku dengan nilai memuaskan.  Aku belum bisa mengabulkan keinginan emak untuk pulang ke kampung sebentar.  Pekerjaanku di sebuah tabloid nasional tidak bisa aku tinggalkan.  Emak kembali menawarkan calon menantunya untukku.

 “Usiamu makin udzur, sudah kau lupakan saja laki-laki dalam mimpi mu itu.”

Aku masih bersikeras menolak, masih dengan alasan yang sama, menunggu laki-laki yang mencuri hatiku dalam mimpi itu.

 Tak kunyana, emak kehilangan kesabarannya.  Ia menuduhku telah melakukan perbuatan syirik, mempercayai mimpi-mimpi yang tidak jelas juntrungannya.  Ia memaki-makiku dengan kata-kata kasar.  Percuma aku sekolah tinggi-tinggi, hanya menghabiskan biaya dan energi jika tidak mampu menggunakan akal sehat, katanya.  Lebih baik kau tinggal di kampung saja, menjadi buruh tani, menggarap sawah dan hidup layaknya orang kebanyakan, katanya lagi.

 Hatiku tercabik saat itu.  Aliran darah di sekujur tubuhku memanas, emosiku memuncak tak karuan.

 “Emak kira siapa yang membiayai kuliahku? Sejak dulu aku bisa sekolah tinggi karena mendapatkan beasiswa.  Aku kuliah sambil bekerja demi mempertahakan hidupku dan juga kalian.  Apa Emak pernah memperdulikan perasaanku? Anak emas Emak adalah abang yang pengangguran itu kan? Aku tertatih mengais nasib di ibu kota dan memutar keras otakku agar kehidupan kalian tetap berjalan.  Aku korbankan naluri kewanitaanku, karena waktu dan otakku hanya berputar bagaimana agar aku bisa lulus dan kebutuhan hidup kalian tetap terjamin.  Sekarang, Emak menuntutku harus punya pendamping.  Tidak mudah buat aku Mak!!!  Selama ini aku tidak pernah mengenal laki-laki, laki-laki yang aku kenal hanya dua, bapak dan abang yang sama bejadnya, menelantarkan isteri karena doyan dengan wanita.” Cerocosku dengan diiringi isak tangis.  “Maafkan aku Mak, aku belum bisa memenuhi keinginan Emak.”

                                                   ***

 Diam-diam hatiku berharap, rapat koordinasi dengan beberapa tabloid di ibu kota kali  ini kembali bisa mempertemukan aku dengan laki-laki tempo hari.  Kandas harapanku, hingga berbulan-bulan tak kutemui lagi sosok itu.  Aku berusaha mengendapkan perasaan itu.  Lagi pula emak sudah tidak lagi bertanya dan menawarkan laki-laki untukku.

Salah satu agenda rapat hari itu membahas tentang teknis kunjungan ke beberapa lokasi bencana.    Sedikit ada perdebatan kecil mengenai siapa yang layak untuk berangkat.  Akhirnya aku satu-satunya wanita yang diutus berangkat menemani dua rekan kerjaku.

                                                    ***

Kunjungan pertama kami adalah ke lokasi bencana merapi di Yogyakarta.  Kami mengunjungi sebuah tempat pengungsian yang berjarak sekitar Sembilan kilometer dari lokasi Gunung Merapi.  Sebuah gedung sekolah yang dijadikan tempat pengungsian di salah satu desa terpencil di Kabupaten Magelang.  Kondisinya sangat tidak layak.  Atap gedung yang bocor disana-sini dan pintu-pintu ternganga tanpa ada penutup.  Kemudian kami beranjak ke tempat pengungsian lain setelah melakukan kontak dan memberikan bantuan materil.

Aku melihat sebuah pemandangan yang sangat tragis.  Aliran ribuan manusia berdatangan dari berbagai barak pengungsian karena barak-barak dan tenda mereka roboh akibat hujan abu dan kerikil.  Ribuan pengungsi beralih ke Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.  Sekilas aku seperti melihat aliran penonton sepak bola menuju ke stadion besar.  Tetapi mengamati wajah mereka yang kuyu, sayu dan panik disertai riuh hubungan telpon yang mencari sanak keluarga masing-masing, membuat hatiku bergidik haru.

 Tiba-tiba mataku tertambat pada sekelompok orang yang sedang mengevakuasi korban bencana.  Seorang laki-laki dengan beberapa luka bakar di bagian tubuhya akibat terkena awan panas.  Aku seperti mengenal wajah laki-laki itu.  Saat ingin dilarikan ke rumah sakit terdekat, aku sempat melihat wajahnya dengan jelas.  Iya, dia laki-laki yang pernah bertemu dalam sebuah rapat pagi di kantorku.  Laki-laki yang persis hadir dalam setiap mimpiku.

 Desiran hebat mengaliri sekujur darahku.  Rasa ingin tahu mengenai keadaan laki-laki itu menguasai pikiranku.  Entah kekuatan darimana yang tiba-tiba memisahkanku dengan dua rekan kerjaku hingga aku sampai di rumah sakit tempat para korban bencana diselamatkan.

 Aku berhasil menyelusup masuk diantara kerumunan manusia.  Mataku mengawasi ke setiap ruangan rumah sakit.  Sebuah keranda di dorong menuju ruang UGD, yang mengiringinya adalah orang-orang yang sama aku lihat ketika laki-laki itu diboyong menuju rumah sakit.  Tuhan, selamatkan nyawa laki-laki itu, pintaku dalam hati.

 Lama aku terdiam duduk di ruang tunggu depan UGD.  Pikiranku mengelana, ingat mimpi-mimpi itu, pertemuan pertama di rapat itu, ingat kemarahan emak dan teman-teman di jurusan linguistik yang acap mengejekku.  Aku menarik nafas panjang, berharap ini adalah kelanjutan episode pertemuan di rapat pagi itu.  Dan aku bisa menunjukkan kepada emak dan teman-teman bahwa mimpiku bukanlah bunga tidur semata.

 Tak terasa kantuk menghinggapiku, kubiarkan mata ini mengatup sembari menunggu perkembangan baik tentang laki-laki itu.

 Di temaram, laki-laki itu bangkit dan langkahnya tertatih menghampiriku.  Sorot matanya masih tajam, tapi aku tidak menangkap pesan apapun dari bola matanya.  Persis di hadapanku, ia mengulas senyum getir dan pandangannya menyapu sekujur tubuhku.  Aku merinding dibuatnya.  Dan saat aku membuka mulut ingin menyapa,, sekejap ia berbalik arah dan menghilang dari pandanganku.

 Kurasai mataku mengerjap, dan samar suara bising rumah sakit menggoda telingaku.  Aku terperanjat kaget ketika melihat keluar jendela, matahari telah berganti rembulan.  Kuseret langkah menuju ruang UGD, hatiku tiba-tiba dingin dan membeku setelah mendengar keterangan dari suster piket bahwa jenazah laki-laki itu telah dibawa ke Jakarta oleh rekan-rekannya sesama wartawan.

                                                               ***



 Kukemasi pakaian di lemari kecil kamar kostku setelah mengajukan cuti kepada bos di kantorku.  Kali ini aku ingin bersimpuh di kaki emak dan menuruti segala kemauannya termasuk keinginannya untuk menjodohkan aku dengan laki-laki pilihannya.  Terbayang di benakku, wajah ceria dan berbinar-binar menyambut kedatanganku yang sekian lama tidak pulang ke kampung halaman.  Hati emak pasti akan bertabur suka cita.

 Sebelum meninggalkan kamar kost, kuraih telpon genggam dan aku ingin memberitahu abangku perihal kepulanganku ke kampung.   Suara abang terdengar datar di telingaku setelah kukabari bahwa aku akan pulang.  Selang beberapa menit kemudian, telpon jatuh dari genggamanku.  Jantungku berhenti berdetak, asaku menguap menembus langit-langit kamar setelah abang mengatakan bahwa emak telah dikubur seminggu yang lalu di halaman belakang rumah.###


Sabtu, 09 Januari 2016

Venezia, Kota Yang Eksotis

Berkunjung ke Italy, belum sah jika tidak singgah di Kota Venezia.
Kota terapung sebagai salah satu icon wisata di kota ini,
menawarkan sejuta pesonanya…”


Artikel ini, Alhamdulillah dimuat 4 halaman di Majalah Noor Vol. IX TAHUN XII/2015.  Yang beredar di pasaran pada bulan Desember- 2015 sampai Januari 2016.





Venice yang lazim kita sebut dengan Venezia adalah sebuah kota peradaban yang dibangun di atas perairan laut Adriatik bagian utara Italy.  Sekilas, kita beranggapan kota yang dikelilingi air ini menyulitkan manusia-manusia di dalamnya untuk beraktivitas.  Ternyata anggapan itu tidak benar!!!

Eksotis!!! Itu kata yang pertama kali keluar dari mulutku ketika turun dari kapal dan menginjakkan kaki di pelabuhan Kota Venezia.  Saat itu akhir bulan Desember, puncaknya musim dingin di Eropa.  Aku dan keluarga kecilku diberi kesempatan oleh Sang Maha untuk menginjak bumi Italy, dan Venezia adalah destinasi utama kami di Italy, selain Vatikan, Colosseum dan Trevi Fountain di Roma serta Menara Pisa.

Angin saat winter berpadu dengan air laut Adriatik terasa menggigit ke persendian.  Tentu kurang bersahabat buat aku yang sangat mencintai iklim tropis.  Kurekatkan penutup kepala yang bersambung dengan jaket winter berbulu angsa, dengan lapisan luar berbahan polyester yang ringan dan lembut.  Ku-kenakan sarung tangan tebal dan setelah ku pastikan nyaman barulah kami memulai perjalanan menyusuri jalan konblok yang bersusun seperti puzzle.

Aku menebarkan pandangan.  Kota ini sangat bersih dan rapi.  Perahu-perahu dan kapal berukuran sedang tertambat rapi dan teratur di pinggiran laut.  Garis-garis bias kuning sisa sunrise masih bergelayut di salah satu sisi langit.  Diseberangnya, bangunan-bangunan unik bergaya eropa berdiri menjulang.  Tidak saja indah dan megah, tapi mencerminkan sebuah karya seni tingkat tinggi dari sebuah peradaban yang pernah jaya.  Meski  bangunan-bangunan ini sudah terkesan tua, tapi tetap terlihat kokoh dan tanggguh. 

Menyaksikan bangunan dengan tiang-tiang kekar dan kuat mengingatkan aku akan seorang saudagar kaya kelahiran Venezia, Marco Polo.  Ketangguhannya telah menghantarkan beliau menjelajah beberapa negara di dunia dan bahkan beliau pernah mengukir cerita ketika singgah di negeri kita, Indonesia tercinta.

Gondola, Alat Transportasi yang Romantis
Gondola adalah sebuah perahu dayung tradisional asal Venezia.  Gondola merupakan sarana transportasi utama di Venezia selama berabad-abad dan masih memegang peranan penting dalam sistem transportasi publik disana sampai saat ini. 

Gondola digerakkan oleh seorang pendayung yang disebut Gondolier.  Berdasarkan hukum yang berlaku di Venezia, seorang Gondolier harus lahir di Venezia untuk bisa melakukan pekerjaan ini. 

Gondola terbuat dari 280 potong kayu yang terdiri atas 8 jenis kayu, yaitu fir, oak, cherry, walnut, elm, mahogany, larch dan limedan.  Sisi kiri Gondola dibuat lebih panjang dibanding sisi kanan untuk menyeimbangkan berat gondolier.  Di bagian ujung-ujungnya dibentuk runcing seperti tanduk yang melengkung ke atas.  Pada bagian bawah perahu dibuat datar dan di dalamnya terdapat kursi-kursi yang empuk dan nyaman.  Kapasitas angkutan ini sekitar 4-5 orang.   
Karena ukurannya kecil dibandingkan dengan kapal maka alat transportasi ini bisa menembus kanal-kanal yang berada di lorong-lorong sempit.   Untuk bisa berada di atas Gondola ternyata tidak mudah.  Karena alat transportasi ini tergolong mahal, sekitar 80 euro atau setara dengan satu juta rupiah lebih.  Meski mahal para wisatawan jarang yang meninggalkan Venezia sebelum merasakan naik Gondola.  Termasuk aku dan keluargaku tentunya.

Bersama seorang Gondolier yang piawai mengayuh, kami dibawa berkeliling menyusuri kanal-kanal.  Melintasi jembatan-jembatan yang didesain melengkung pada bagian tengahnya agar bisa dilalui oleh perahu, dan menyaksikan  banyak manusia berlalu lalang berjalan di atas trotoar sebagaimana lazimnya sebuah kota.  Inilah potret sebuah kota terapung yang unik dan langka!!

Gondola tidak seperti perahu kebanyakan yang sering oleng ketika bergerak di permukaan air.  Perahu unik ini begitu tenang dan nyaman menghantarkan kami menikmati satu demi satu keindahan lorong-lorong sempit, diantara bangunan-bangunan tua klasik dan jembatan-jembatan kokoh yang saling terhubung.

Terpaan angin, riak air yang tersapu pengayuh dan bangunan yang artistik merupakan kombinasi cantik yang menjadikan suasana semakin romantis.  Sangat pantas jika Times Online menyebut Venezia sebagai kota paling romantis di Eropa.  Karena julukan ini pula banyak film-film yang menjadikan Venezia sebagai lokasi syutingnya.  Diantaranya  film-film yang dibintangi oleh James Bond dan film The Tourist yang dibintangi Agelina Jolie.

Bagi kami, berada di atas Gondola ibarat sedang merayakan pesta cinta yang dikelilingi oleh bertabur keindahan.  Suasana indah yang menghadirkan kedalaman rasa syukur pada-Nya, momen menambah kemesraan dengan pasangan dan melipat gandakan kecintaan kepada buah hati.  Apalagi melihat kedua putriku tersenyum mekar, lengkap sudah kebahagiaan.

Selain Gondola, ada alat transportasi kapal berukuran sedang dengan kapasitas puluhan penumpang yang juga berlabuh di Venezia.  Tapi kapal-kapal  ini jarang dipakai di dalam Kota Venezia.  Biasanya kapal ini digunakan oleh para turis yang ingin berkunjung ke Venezia atau keluar dari Venezia.

Venezia tidak hanya menampilkan keelokan kotanya.  Penduduk yang mendiami kota ini juga sangat terkenal dengan keramahan dan profesional melayani pengunjung.  Kebanyakan mereka berlatar belakang pendidikan tinggi dan mempunyai cara berpikir yang selalu berorientasi untuk maju.  Bagi mereka, tinggal di atas air tidak menjadi kendala sama sekali.  Keramahan itu sangat jelas ketika kami mulai berinteraksi dengan Gondolier dan para pedagang yang ada di Venezia.

Jejak Islam di Venezia
Venezia  dibangun sekitar abad ke 7 Masehi.  Terdiri dari 118 pulau-pulau kecil di laguna (danau pinggir laut) yang memiliki akses langsung ke laut Adriatik dan laut Mediterania.  Karena letaknya di tepi laut menjadikan kota ini sebagai kota maritim yang penting dan menjadi pusat perdagangan di Eropa Barat. 

Venezia mulai melakukan hubungan perdagangan dengan dunia islam sejak abad ke 8 Masehi.  Kita ketahui bersama, Negara Islam berdiri pertama dibawah kepemimpinan Rasulullah pada abad ke 6 Masehi, tepatnya Tahun ke-2 Hijriyah.   Melalui hubungan dagang yang terjalin selama berabad-abad, pengaruh budaya dan seni islam banyak masuk dan mempengaruhi  corak kehidupan orang-orang di Venezia.

Hingga abad ke 12, hubungan islam dan Venezia semakin erat.   Pemerintahan islam saat itu berpusat di Istanbul Turki dengan pemerintahan Turki Ustmani yang dipimpin oleh Muhammad Alfatih.  Saat itu banyak orang-orang Venezia mempelajari bahasa arab dan menghabiskan waktunya untuk tinggal di daerah-daerah Islam.  Mereka, orang-orang Venezia mengagumi banyak hal tentang kemajuan di dunia islam.  Mereka tidak saja membeli rempah-rempah, sutera, barang-barang mewah yang kemudian dijual di Venezia, tetapi mereka juga mempelajari dan mengadopsi karya seni, budaya, dan arsitektur islam pada masa itu.  Bahkan banyak dari risalah astronomi dan matematika klasik yang dikenal di Venezia awalnya diperkenalkan melalui terjemahan dari bahasa Arab.

Piaza San Marco adalah salah satu bangunan yang arsitekturnya diilhami oleh arsitektur pada masa Turki Ustmani.  Ciri khas bangunan ini adalah adanya menara setinggi hampir 100 meter.  Dari puncak menara ini kita bisa melihat view Kota Venezia dengan leluasa.  Piaza San Marco juga terkenal sebagai landmark Kota Venezia dan terletak di alun-alun utama Kota Venezia.

Melihat Piaza San Marco dari dekat juga bangunan-bangunan unik yang pada bagian depan terdapat deretan pintu-pintu melengkung kebawah, memutar memoriku ke masa beberapa tahun yang lalu saat aku berdiri di salah satu sisi Mesjid Nabawi Madinah.  Lekukan-lekukan setengah melingkar berjejer sempurna dan ukiran-ukiran di banyak sisi dan sudut serta kubah-kubah di atas bangunan menampilkan karya seni yang kental nuansa islam.

Setelah puas mengukir kenangan di atas Gondola dan menyusuri jejak-jejak Islam diantara bangunan-bangunan tua dan klasik, kami menyempatkan untuk singgah ke beberapa kios pedagang.  Beragam jenis barang yang ditawarkan dalam kios-kios yang berada di sepanjang jalan.  Mulai dari perlengkapan winter, gantungan kunci dan bahkan beberapa kios sengaja menjual souvenir berupa topeng-topeng wajah manusia. 

Konon, topeng-topeng ini adalah cerminan dari sebuah tradisi budaya yang dilakukan setiap tahun dengan pesta yang sangat meriah.  Sayang sekali saat kami berkunjung, tidak bertepatan dengan waktu perayaan tradisi budaya tersebut.  [Nani Djabar]




Aku dan Lock Down-Virus Corona (Covid19)

Aku tiba-tiba merasa berada dalam dunia unreal, antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang aku alami saat ini. Tepatnya hari senin 1...