Persis tengah malam untuk pertama kalinya kakiku menjejak di
kota Swiss Van Java-julukan Kota Garut- yang sejuk karena dikepung oleh
pegunungan.
Pekatnya malam tak
membuat mataku kalah oleh kantuk, sebaliknya kutebar pandangan ke luar jendela
mobil mengitari senyapnya kota diantara kerlap kerlip lampu jalanan. Aku menoleh kebelakang, kedua putriku masih
tertidur lelap diatas jok tengah.
Kasihan, perjalanan Yogya-Garut molor beberapa jam dari prediksi
sebelumnya, sepertinya kedua putriku sangat kelelahan.
“Kita cari hotel dulu ya”, kata suamiku sambil mengurangi
kecepatan kendaraan
Mobil melaju
perlahan, seiring berputarnya
jarum jam melewati tengah malam.
Beberapa belas menit kemudian kami menemukan Hotel Tirta Gangga yang
bangunannya bergaya klasik di pinggiran
kota Garut.
Memasuki kamar hotel yang nyaman, luas dengan perabotan yang serba klasik membuat
rasa lelah sedikit terobati. Liburan
kami kali ini memang sangat berbeda. Mungkin lebih tepat disebut petualangan. Bagaimana tidak? Perjalanan
Jakarta-Yogya memakan waktu tempuh 30 jam-karena bertepatan dengan libur
lebaran- kemudian selama 7 hari
menjelajah tempat-tempat wisata di Yogya.
Diteruskan perjalanan selama belasan jam Yogya-Garut. Dan rencana, sebelum kembali ke Jakarta, kami
ingin menuntaskan perjalanan ini di Gunung Papandayan, Garut. Kebayang kan? Betapa letihnya belahan jiwaku
menyetir tanpa mau aku gantikan, dan kami hanya beristirahat pada waktu-waktu
sholat dan makan saja. Tapi, kedua
putriku lebih suka perjalanan seperti ini dibanding menggunakan airplane. Lebih seru dan berkesan kata mereka.
Senyumku mengembang, ketika pagi hari melihat kedua wajah
putriku begitu ceria setelah menghabiskan sarapan di restoran lantai atas. Nasi
goreng spesial plus omelet dan
beberapa menu seafood dibalut
tepung crispy dan aneka jus buah segar, memang hidangan yang cocok di lidah
kami.
“yuuk jalan! Udah hampir jam 9 niih, mau berangkat jam
berapa?” ujar sulungku sembari berdiri hendak meninggalkan meja makan.
“Iya, nanti kesorean lagi di sananya.” Cetusku menambahkan.
“waduuuhhh, ada yang udah gak sabar mau foto gunung nih.”
Sela suamiku meledek, melihat kedua tanganku yang sudah menggenggam tas kamera.
***
Sinar matahari mulai merangkak naik ketika mobil kami mulai
menelusuri jalan menuju lereng Gunung Papandayan. Jalanan yang begitu sepi dengan topografi
yang rusak parah, lubang-lubang yang tidak bisa diprediksi kedalamannya, kiri
kanan hutan rimba sedikit membuat aku ragu untuk melanjutkan perjalanan.
Mobil besar kami melaju seperti kuda, tapi
kedua putriku justru terlihat sangat menikmati perjalanan ini, mereka tergelak
setiap kali ban mobil terpaksa harus menaiki batu besar atau masuk ke dalam
lubang yang dalam.
“Dasar anak-anak”,
Gumamku dalam hati
Akhirnya , tepat ketika matahari persis di atas kepala, kami
sampai di lereng gunung. Baru aku
saksikan ada kehidupan disini. Tempat
parkir yang luas, kedai-kedai makanan ringan dan satu gedung pengelola tempat
wisata Gunung Papandayan. Di gedung ini
kami diberikan briefing sejenak tentang destinasi apa saja yang bisa
dikunjungi.
“Sayang pak, harusnya jam 7 pagi sudah berada disini, kalau
sudah siang begini tidak bisa mengunjungi semuanya,” kata bapak petugas
briefing dengan ramah.
Iya, ternyata ada
beberapa tempat yang menjadi daya tarik
pengunjung. Empat kawah dan beberapa
lubang magma aktif yang tersebar di beberapa titik, hutan mati, edelweis dan saat-saat sunset di puncak Gunung
Papandayan. Tentu saja membutuhkan waktu
yang tidak sebentar.
Ketika kami memulai pendakian, tak disangka gerimis
tiba-tiba mengucur dari langit. Cuaca
saat itu, awal agustus 2014 masih belum stabil, kadang panas terik, hujan,
gerimis atau mendung tanpa hujan.
Kami berteduh sejenak di warung kecil, sepertinya menyantap
mie instan panas adalah pilihan tepat
untuk menghangatkan tubuh, sembari menunggu hujan reda. Selain memang tidak tersedia rumah makan dan
perut juga sudah menagih untuk diisi.
Hmmm, selalu terasa nikmat jika pandai mensyukuri.
Langit makin berkabut, cuaca mulai mendung, gerimis sedikit
mereda. Bismillah, kami melanjutkan
pendakian, ditemani seorang pemandu.
Awalnya aku ragu apa aku bisa mendaki gunung yang terjal,
curam dan sesekali harus melintasi jalan setapak dengan jurang dalam
dibawahnya. Kami memang tidak berniat
mendaki sampai ke puncak, hanya ingin menikmati pemandangan kawah, magma dan
menyaksikan keunikan permukaan pegunungan yang tinggi dan berbatu. Tapi ternyata untuk menyaksikan semua itu
juga tidak mudah.
Kakiku terus berayun melangkah, satu demi satu tanjakan
terlewati. Udara sejuk pegunungan
seperti menarik-narik kakiku untuk terus
berjalan. Kabut makin tebal, lekuk-lekuk
gunung mengintip di sela-sela kabut yang semakin membuat aku
terkagum-kagum. Asap belerang mulai
tercium dari kejauhan. Penasaranku makin
menggunung, ingin menyaksikan langsung lubang-lubang magma yang bergolak dari
dalam perut bumi.
Perjalanan masih terus berlanjut dan gerimis makin menjadi-jadi. Kami harus menuruni tebing yang curam dan
kemudian melintasi anak sungai yang terjal penuh batu-batu besar.
Subhanallah, akhirnya kami sampai pada satu titik lubang
magma yang mendidih dan menimbulkan uap beraroma belerang. Takjub!!!
Hujanpun menderas. Ketika
kami berada di atas permukaan bumi yang terhampar luas dan hanya beratap
langit. Disekeliling diselimuti kabut-kabut
tebal dan jika mengarahkan pandangan ke bawah, terlihat bukit-bukit batu
tertutup kabut tipis dan tebal, kelok-kelok sungai yang mulai pasang karena
derasnya hujan. Allahurobbiiiii…. Betapa
luas semesta-Mu, diri ini begitu kecil dan tidak ada apa-apanya.
Hujan mengguyur tubuh kami dengan sempurna, menatap kedua
putriku yang tertawa riang bermandikan hujan mengingatkan aku pada masa kecil
dulu. Ketika hujan adalah saat-saat yang
dinanti, berhamburan ke luar rumah mencari tanah lapang yang luas, kemudian berguling-guling dan sesekali saling menyemprotkan air
bercampur tanah coklat ke muka teman-teman sepermainan. Setelah puas bermain membilas tubuh dibawah
pancuran air yang sejatinya adalah saluran air dari atap rumah.
Ah, betapa indah masa kecil….
“Kita harus segera turun, hujan makin deras, khawatir sungai
meluap”, ujar pemandu membuyarkan
lamunanku.
Jelang jam empat sore, langit makin berawan hitam, kami
pelan-pelan menuruni tebing menuju arah pulang.
Dalam perjalanan pulang beberapa titik lubang magma masih sempat kami
saksikan. Bahkan ada satu lubang magma
yang bergolak mendidih dengan sangat kuat.
Jika kita melemparkan batu diatasnya, serta merta batu itu akan mental
beberapa meter, didorong oleh kekuatan uap yang menyembur. Sebuah fenomena alam yang langka dan menakjubkan. Subhanallah…
Selang satu jam, tibalah kami di lereng gunung. Hujan masih setia mengguyur tubuh kami yang
lusuh dan basah kuyup. Kami beristirahat
sejenak di kedai kecil sambil menghangatkan tubuh dengan segelas wedang jahe.
Alhamdulillah…. Lega rasanya melihat kedua
putriku yang masih tersenyum meskipun jari jemarinya terlihat kisut karena kedinginan.
wah...keren Mbak Nani...jalan2 ke Garut sampe naik gunung yg bebatuan...seru ye Nan..bareng keluarga lagi ye...
BalasHapusIyo yuk alhamdulillah... seru nian... btw, aku klo jln2 slalu bareng keluargo yuk...hehehe
BalasHapuswah! adventurer banget ya sekeluarga. keren :))
BalasHapuskalau perjalan +/- 30 jam gitu berarti di mobil harus dibikin senyaman mungkin ya mbak.
Iya mbak syahdian... aku udh nyiapin cemilan ringan n berat, ank2 jg bawa bantal... trs kita juga gak ngoyo mbak... klo istirahat pas makan atau sholat cukup lama... bisa ngelurusin badan dl...hehhe... mksh ya mbak dh berkunjung :)
BalasHapusAku belum pernah ke Garut Mak...
BalasHapusAsyik ya anak-anak punya petualangan seru....:-)
Hayo mak ke garut... enak adem :)
HapusAku pengen ke garuut banyak yang seru ya mba, itu belerangnyaa...aku ngga pernah naik gunung lagi hihihi
BalasHapusSeru mbak...hujan2an sambil bertabur asap magma :)
Hapuswah seru ya bisa bisa mendaki ke gunung papandayan
BalasHapusrasanya pengen deh nyoba mendaki ke sana
Cobain deh mbak....dijamin seru...hehe
HapusBaru tau, julukan Garut teh Swiss Van Java ya...
BalasHapusIya mbak....kan adem.... sayangnya gk ada saljunya...hehhe
Hapuswah seru banget ya kalau sekeluarga kesukaannya sama, jadi bisa bareng-bareng terus :)
BalasHapusAlhmdllh mbak....kita selalu bareng...klo ada yg gak bisa mending gk jadi atau dittunda :)
Hapus