Sunrise Pulau Bira ; Antara Kisah dan Cerita Kita. Menapaki jembatan Pulau Bira yang panjang seperti sedang
berjalan membelah lautan. Jembatan kayu
dengan lebar kurang lebih dua meter tetap memberikan kenyamanan ketika
melintasinya meskipun tidak ada pegangan di bagian kiri kanannya. Tidak ada rasa khawatir sedikitpun terjatuh
ke air laut yang kedalamannya bisa membuat tenggelam bagi yang tidak bisa
berenang.
Angin laut bertiup kencang membelai kerudung dan gamis yang
aku kenakan. Kedua putriku berlari riang
di atas jembatan. Wajah teman-teman
rombongan satu perjalananpun terlihat menampilkan aura kegembiraan.
Kami terus menyusuri jembatan.
Mata tak habis-habisnya disuguhi keindahan bawah air laut yang memukau
di sepanjang bawah jembatan. Air yang
begitu alami dengan tingkat kebeningan yang sempurna membuat mata bisa menembus air dan menyaksikan
warna warni karang dengan bentuk-bentuk yang indah. Menakjubkan!!!
Jembatan Pulau Bira |
Air bening dibawah jembatan, karang-karang terlihat jelas |
Berfoto di atas jembatan |
Aku sedikit terkejut ketika memasuki cottage untuk menaruh
barang-barang bawaan seperti ransel dan tas makanan ringan. Aku pikir cottage ini terdiri dari beberapa
kamar dan aku bersama keluargaku akan menempati satu kamar. Ternyata tidak. Cottage ini hanya terdiri dari dua ruangan
besar yang disekat satu pintu untuk keluar masuk dari dan ke dua ruangan
tersebut. Masing-masing ruangan terdapat
tiga tempat tidur springbed, satu kamar
mandi, satu meja rias beserta kursinya, satu stel sofa dan selintas semuanya terlihat
tua berusia belasan tahun.
Ketika selesai menjelajah pulau dan tibalah waktu istirahat di
cottage, aku baru benar-benar menyadari kalau cottage-cottage ini dibangun
belasan atau mungkin puluhan tahun yang lalu.
Springbed yang sudah kusam, warna sofa yang sudah pias dan buram, ada
bagian lantai kayu yang sudah keropos bahkan berlubang, dan jendela-jendela
yang sudah lama tidak dibuka sehingga rapat menyatu dengan kusen. Belum lagi kamar mandi yang terkesan angker
karena watt lampu yang kecil, ditambah lagi bathtub dan keran-keran yang sudah berkarat. Sangat jelas cottage ini dibiarkan tidak
terurus dan tidak pernah dirawat apalagi direnovasi.
Tapi, aku dan keluarga
sangat beruntung, karena teman-teman rombongan yang satu cottage adalah
manusia-manusia baik yang meskipun berlimpah secara materi tapi tetap bersahaja
dan penuh dengan rasa syukur dalam kondisi bagaimanapun. Akhirnya, malampun kami lewatii dengan
indah. Berbincang, berbagi cerita dan tawa
layaknya sebuah keluarga.
Cottage berbahan kayu usia belasan tahun |
Saat keheningan fajar menyapa dan membangunkan aku dari
lelap. Tiada suara adzan berkumandang,
hanya suara gemerisik ranting pohon ditiup angin pantai. Aku tenggelam dalam syahdu memenuhi
kewajibanku pada-Nya. Tidak berapa lama
aku menyibak tabir jendela, ingin memastikan apakah fajar sudah menyingsing,
pertanda matahari sudah mulai menampakkan sinarnya.
Spot sunrise di Pulau Bira adalah saat-saat yang kami tunggu. Aku beringsut mengambil kamera, segera
ku-setting mode manual dan kami pun berangkat menuju arah timur Pulau Bira.
Tidak sampai sepuluh menit menelusuri jalan setapak dibawah
pohon-pohon rindang, akhirnya kami menemukan sebuah jembatan kayu berbentuk
huruf L menjorok ke laut dan berhadapan
langsung dengan posisi awal terbitnya matahari.
Sepertinya tempat ini memang didesain oleh pengelola agar para
pengunjung dapat menyaksikan sunrise dan menikmati semburat langit merah
kekuningan dari tempat yang pas dan nyaman.
Ternyata teman-teman satu rombongan sebagian sudah berhamburan
di atas jembatan. Ada yang hanya duduk
di pinggir jembatan sambil mengayunkan kaki dan menghadapkan wajah ke arah
sunrise, ada yang sibuk berfoto dengan memanfaatkan sunrise sebagai background,
ada juga yang terpana melihat kejernihan air dan menyaksikan ikan-ikan yang
sedang berenang dari atas jembatan.
Sementara aku dan keluarga sibuk mencari angle yang pas untuk
mendapatkan foto-foto yang menarik untuk diabadikan.
Sunrise Pulau Bira |
Hangat mentari makin menusuk kulit, aku memutuskan untuk
beranjak dari jembatan spot sunrise.
Kaki terus melangkah di jalan setapak. Matahari mengintip dari
celah-celah rindangnya pohon. Aku
menebar pandang ke berbagai arah berharap ada spot-spot menarik yang bisa aku
abadikan.
Aku kembali terkejut ketika mendapati ada kolam renang yang
didalamnya terdapat air berwarna hijau pekat karena percampuran lumut dan
kotoran yang menahun. Kolam ini sangat
besar, tapi sayang ilalang dan rumput-rumput liar berlomba memenuhi pingiran
kolam.
Aku terus berjalan sambil meredam tanya dan rasa
penasaran. Tidak jauh dari kolam juga
terdapat lapangan golf yang sama rimbunnya ditumbuhi rumput-rumput liar. Dan dari kejauhan aku bisa menyaksikan ada
helipad atau lapangan tempat mendaratnya helikopter. Mungkin ini yang membuat Pulau Bira dikenal
sebagai Pulau untuk kalangan menengah atas.
Tapi, aku tambah bingung.
Akhirnya, semua pertanyaanku terjawab. Ketika seorang bapak tua yang mengelola
cottage ini berkisah tentang Pulau Bira di masa-masa kejayaannya pada tahun 90-
an.
Pulau Bira pada masa awal
pembangunannya adalah pulau milik keluarga presiden di masa itu. Hampir di setiap hari libur atau di hari-hari
biasa keluarga besar presiden acap kali menghabiskan waktu untuk bersenang-senang
di pulau ini. dan tentu saja mereka
tidak pernah merasakan bagaimana digoyang ombak saat berada di kapal speed
boat. Helikopter adalah alat
transportasi yang membawa mereka mendarat di Pulau Bira. Saat itu lalu lintas orang-orang menengah
atas berkunjung ke Pulau Bira bisa dikatakan sangat padat.
Air laut jernih alami |
Ikan Pari di sela-sela karang |
Warna laut yang bergradasi |
Tetapi, sejak krisis moneter dan kekuasaan presiden tumbang,
pengelola pulau ini diserahkan kepada anak perusahaan salah satu BUMN yang ada
di negeri ini. Sepertinya pengelola baru
tidak fokus dan akhirnya, Pulau Bira yang elegan dan sangat prestisius di
masanya menjadi seonggok kenangan yang menyisakan cerita di masa sekarang.
Waktu telah menyulap tempat yang sama menjadi sebuah realita
yang berbeda. Kisah pada masa itu sangat
ironis dengan cerita kita hari ini.
Selamat Tinggal Pulau Bira, terimakasih sudah mengukir satu kenangan
dalam perjalanan kami. [Nani Djabar]
Keren nian Nan sunrise di P.Bira.. Sayangnya kondisi cottage skrg ini kurang terawat ye..padahal potensial utk pengembangan wisata..
BalasHapusIyo yuk...sbnrnyo msh byk pulau yg luar biasa...tp sayang gk dikelola dg baik
HapusIyo yuk...sbnrnyo msh byk pulau yg luar biasa...tp sayang gk dikelola dg baik
Hapushuaaaa... keren banget sunrise nya, bikin envy aja nih mbak.
BalasHapusMksh mbak :)
Hapusjernih banget air lautnya...
BalasHapusIyaa...alami :)
Hapuspulau dan lautnya bagus banget ya mbak, warna air lautnya bisa kayak pelangi gitu..
BalasHapussayang fasilitasnya kurang memadai...
dan foto-fotonya mbak Nani tetep deh...juara... :)
Mksh mbak :)
HapusSebagai emak-emak yang jarang piknik.
BalasHapusBerkunjung ke blog ini merupakan salah satu terapi yang manjur banget
Alhmdllh smg manfaat :)
HapusSubehanallah cantik sekali Sunrisenya >.< sayang ya tidak dikelolah dengan baik. Kirain tadi Pantai Bira di Bulukumba Sul-Sel loh Mak, namanya sama :p
BalasHapusKep. Seribu jakarta mbak :)
Hapusindah banget kalo bisa berfoto di jembatan apalagi pas lagi ada sunrise :D
BalasHapusIndah pastinya :)
Hapussukaaa foto-foto sunrisenya...baguuuss :)
BalasHapusMksh mbak :)
HapusMbaaaaaaaaaaaaaak. Hikz. Aku pengen ke situ. Kapan, ya? Indah bangeeet.
BalasHapusSmg segera ya mbak :)
HapusWah.. senang rasanya ketemu dengan orang yang mengenal tempat yang kita kunjungi sudah sejak lama, jadi tau cerita-cerita perubahan yang terjadi di Pulau Bira.
BalasHapusAlam begini semoga terus terjaga, bening banget airnya ^^
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus