☆☆☆cerpen ini masuk dalam writers club majalah femina dan dimuat dalam website majalah femina☆☆☆
Deg! Jantungku berdetak kencang, iramanya tak senada, semakin berdebar-debar. Darah hangat seakan mengaliri setiap lekuk tubuh, mulutku terperangah, tak kuasa mengedipkan mata. Tiba-tiba pulpen terjatuh dari sela-sela jariku. Aku tersadar, melirik ke kanan dan ke kiri, betapa semua mata tertuju padaku. Hmm, aku salah tingkah!
***
Keriuhan para penumpang yang berdesakan tak mampu mengalihkan pikiranku pada kejadian tadi pagi. Kereta ekonomi yang bergerak dari stasiun kota menuju Depok, tempat kost-ku terasa berjalan begitu cepat. Sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Biasanya keletihanku seharian di tempat kerja sudah menjadikan kaki ini enggan melangkah memasuki gerbong. Tapi hari ini tidak! Aku begitu bersemangat mengikuti aliran manusia yang berlomba dan bersikut untuk masuk duluan ke dalam gerbong. Setelah berhasil masuk, aku tidak perduli apakah ada tempat duduk kosong atau tidak. Aku masih asyik dengan pikiranku yang melayang tak berkesudahan memikirkan kejadian tadi pagi.
Aku berdiri diantara kerumunan penumpang yang lain. Tangan kiriku menjepit tas di dada, sementara tangan kananku berpegang di sisi jendela kereta.
Apa yang telah terjadi denganku???
Entahlah, pesona laki-laki itu begitu dahsyat, bagai magnet yang menarik semua indera yang kumiliki. Sosok putih bersahaja, dengan tas diselempang di bahu, tinggi sedang dan ada jenggot yang menghiasi dagunya. Di luar sadar, aku sontak terpana ketika sosok itu tiba-tiba muncul dari balik pintu dan mengucapkan salam dengan penuh wibawa.
Rapat pagi itu kujalani sekenanya, sebagai notulen aku tetap berusaha menjalankan tugasku sebagaimana mestinya. Meskipun teman-teman yang hadir melihat sikap dan tingkahku yang tidak seperti biasanya.
Aku melompat dengan cekatan ketika kereta berhenti di stasiun kukusan Depok. Langkah-langkah kakiku begitu ringan menuju tempat pangkalan ojek. Sepuluh menit kemudian motor ojek telah menghantarkan aku persis di depan tempat kost-ku. Dengan wajah ceria, sengaja aku berikan uang lebih kepada tukang ojek.
“Nggak usah, lebihnya buat Abang,” kataku cepat ketika melihat tukang ojek tersebut merogoh sakunya untuk mencari uang kembalian.
Wajah tukang ojek tersebut sumringah seolah menyimpan pertanyaan yang tak terungkapkan. Ia hanya mengulas senyum dan memutar balik motornya setelah berujar terimakasih.
***
Wajah itu begitu mirip dengan sosok pemuda yang berkali hadir dalam mimpiku. Persis, itu tepatnya. Bibirku tertarik ke atas saat mengeluarkan handphone dari tas ke atas meja belajar kecilku. Aku akan punya jawaban ketika emak kembali mengusung pertanyaan yang sama.
Dengan malas ku buka lembar demi lembar diktat linguistik. Wajah laki-laki itu bertebaran diantara suku kata, bahkan menyelinap diantara paragraf-paragraf yang terlewatkan tanpa kupahami maknanya.
“Sampai kapan kau menunggu laki-laki yang hadir dalam mimpimu itu?” Tanya emak saat aku berargumen menolak laki-laki yang ia sodorkan untuk menjadi menantunya.
Teman-temanku di pasca sarjana acap terkekeh dengan sedikit meledek ketika aku katakan bahwa laki-laki dalam mimpi itu yang akan menjadi pendamping hidupku kelak, ia akan datang tanpa aku tahu kapan waktunya. Entahlah, setiap kali ada laki-laki yang ingin melamarku, laki-laki misterius itu selalu hadir dalam tidurku. Sorot matanya menyiratkan kalau ia sangat menginginkan aku, senyum dan anggukannya menggetarkan jantungku. Ia berkali melambaikan tangan tak rela saat aku memalingkan muka darinya.
Mimpi itu hadir sejak aku kuliah tingkat tiga di S1. Tepatnya ketika ada seorang lelaki teman satu kepengurusan di senat menyampaikan keinginannya untuk meminangku. Di kampusku, menikah sebelum usai kuliah itu sebuah pemandangan yang biasa. Tapi, kala itu saat hasrat jiwaku mengatakan iya, tiba-tiba untuk kali pertama laki-laki misterius itu hadir mengganggu tidurku, berkali-kali. Mulanya aku tidak begitu memperdulikan mimpi itu, aku anggap itu hanyalah bunga tidur yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan realita yang kuhadapi. Tapi, mimpi itu seolah tak rela dianggap angin lalu. Ia hadir tak terhitung kalinya dan menobrak logika akal sehatku.
Benar saja apa yang aku duga. Emak kembali menelponku. Getar suara seorang nenek yang tak bercucu kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Kali ini aku lebih percaya diri memberikan jawaban.
“Emak tenang saja, aku telah bertemu dengan laki-laki yang kerap hadir dalam mimpiku itu.”
“Hah, apa Emak tidak salah dengar, terus kapan kau akan membawanya kemari, menikah di kampung halaman tempat kau dilahirkan,” suara emak terdengar terbahak riang. “Emak akan segera punya cucu, kau pasti bisa melahirkan anak banyak, tidak seperti isteri abangmu yang mandul itu,” suara emak tersekat.
Aku sangat memahami keinginan emak, sejak bapak meninggal tiga tahun yang lalu, hidup emak nyaris tak bersemangat. Satu-satunya abangku yang masih tinggal di kampung memutuskan untuk tinggal bersama emak. Tapi kehadirannya tak jua bisa menghibur emak. Pasalnya sudah beberapa tahun menikah belum juga dikaruniahi keturunan. Tinggal aku yang jadi tumpuan harapan emak.
Dua tahun terlewati, aku berhasil menyelesaikan pasca sarjanaku dengan nilai memuaskan. Aku belum bisa mengabulkan keinginan emak untuk pulang ke kampung sebentar. Pekerjaanku di sebuah tabloid nasional tidak bisa aku tinggalkan. Emak kembali menawarkan calon menantunya untukku.
“Usiamu makin udzur, sudah kau lupakan saja laki-laki dalam mimpi mu itu.”
Aku masih bersikeras menolak, masih dengan alasan yang sama, menunggu laki-laki yang mencuri hatiku dalam mimpi itu.
Tak kunyana, emak kehilangan kesabarannya. Ia menuduhku telah melakukan perbuatan syirik, mempercayai mimpi-mimpi yang tidak jelas juntrungannya. Ia memaki-makiku dengan kata-kata kasar. Percuma aku sekolah tinggi-tinggi, hanya menghabiskan biaya dan energi jika tidak mampu menggunakan akal sehat, katanya. Lebih baik kau tinggal di kampung saja, menjadi buruh tani, menggarap sawah dan hidup layaknya orang kebanyakan, katanya lagi.
Hatiku tercabik saat itu. Aliran darah di sekujur tubuhku memanas, emosiku memuncak tak karuan.
“Emak kira siapa yang membiayai kuliahku? Sejak dulu aku bisa sekolah tinggi karena mendapatkan beasiswa. Aku kuliah sambil bekerja demi mempertahakan hidupku dan juga kalian. Apa Emak pernah memperdulikan perasaanku? Anak emas Emak adalah abang yang pengangguran itu kan? Aku tertatih mengais nasib di ibu kota dan memutar keras otakku agar kehidupan kalian tetap berjalan. Aku korbankan naluri kewanitaanku, karena waktu dan otakku hanya berputar bagaimana agar aku bisa lulus dan kebutuhan hidup kalian tetap terjamin. Sekarang, Emak menuntutku harus punya pendamping. Tidak mudah buat aku Mak!!! Selama ini aku tidak pernah mengenal laki-laki, laki-laki yang aku kenal hanya dua, bapak dan abang yang sama bejadnya, menelantarkan isteri karena doyan dengan wanita.” Cerocosku dengan diiringi isak tangis. “Maafkan aku Mak, aku belum bisa memenuhi keinginan Emak.”
***
Diam-diam hatiku berharap, rapat koordinasi dengan beberapa tabloid di ibu kota kali ini kembali bisa mempertemukan aku dengan laki-laki tempo hari. Kandas harapanku, hingga berbulan-bulan tak kutemui lagi sosok itu. Aku berusaha mengendapkan perasaan itu. Lagi pula emak sudah tidak lagi bertanya dan menawarkan laki-laki untukku.
Salah satu agenda rapat hari itu membahas tentang teknis kunjungan ke beberapa lokasi bencana. Sedikit ada perdebatan kecil mengenai siapa yang layak untuk berangkat. Akhirnya aku satu-satunya wanita yang diutus berangkat menemani dua rekan kerjaku.
***
Kunjungan pertama kami adalah ke lokasi bencana merapi di Yogyakarta. Kami mengunjungi sebuah tempat pengungsian yang berjarak sekitar Sembilan kilometer dari lokasi Gunung Merapi. Sebuah gedung sekolah yang dijadikan tempat pengungsian di salah satu desa terpencil di Kabupaten Magelang. Kondisinya sangat tidak layak. Atap gedung yang bocor disana-sini dan pintu-pintu ternganga tanpa ada penutup. Kemudian kami beranjak ke tempat pengungsian lain setelah melakukan kontak dan memberikan bantuan materil.
Aku melihat sebuah pemandangan yang sangat tragis. Aliran ribuan manusia berdatangan dari berbagai barak pengungsian karena barak-barak dan tenda mereka roboh akibat hujan abu dan kerikil. Ribuan pengungsi beralih ke Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Sekilas aku seperti melihat aliran penonton sepak bola menuju ke stadion besar. Tetapi mengamati wajah mereka yang kuyu, sayu dan panik disertai riuh hubungan telpon yang mencari sanak keluarga masing-masing, membuat hatiku bergidik haru.
Tiba-tiba mataku tertambat pada sekelompok orang yang sedang mengevakuasi korban bencana. Seorang laki-laki dengan beberapa luka bakar di bagian tubuhya akibat terkena awan panas. Aku seperti mengenal wajah laki-laki itu. Saat ingin dilarikan ke rumah sakit terdekat, aku sempat melihat wajahnya dengan jelas. Iya, dia laki-laki yang pernah bertemu dalam sebuah rapat pagi di kantorku. Laki-laki yang persis hadir dalam setiap mimpiku.
Desiran hebat mengaliri sekujur darahku. Rasa ingin tahu mengenai keadaan laki-laki itu menguasai pikiranku. Entah kekuatan darimana yang tiba-tiba memisahkanku dengan dua rekan kerjaku hingga aku sampai di rumah sakit tempat para korban bencana diselamatkan.
Aku berhasil menyelusup masuk diantara kerumunan manusia. Mataku mengawasi ke setiap ruangan rumah sakit. Sebuah keranda di dorong menuju ruang UGD, yang mengiringinya adalah orang-orang yang sama aku lihat ketika laki-laki itu diboyong menuju rumah sakit. Tuhan, selamatkan nyawa laki-laki itu, pintaku dalam hati.
Lama aku terdiam duduk di ruang tunggu depan UGD. Pikiranku mengelana, ingat mimpi-mimpi itu, pertemuan pertama di rapat itu, ingat kemarahan emak dan teman-teman di jurusan linguistik yang acap mengejekku. Aku menarik nafas panjang, berharap ini adalah kelanjutan episode pertemuan di rapat pagi itu. Dan aku bisa menunjukkan kepada emak dan teman-teman bahwa mimpiku bukanlah bunga tidur semata.
Tak terasa kantuk menghinggapiku, kubiarkan mata ini mengatup sembari menunggu perkembangan baik tentang laki-laki itu.
Di temaram, laki-laki itu bangkit dan langkahnya tertatih menghampiriku. Sorot matanya masih tajam, tapi aku tidak menangkap pesan apapun dari bola matanya. Persis di hadapanku, ia mengulas senyum getir dan pandangannya menyapu sekujur tubuhku. Aku merinding dibuatnya. Dan saat aku membuka mulut ingin menyapa,, sekejap ia berbalik arah dan menghilang dari pandanganku.
Kurasai mataku mengerjap, dan samar suara bising rumah sakit menggoda telingaku. Aku terperanjat kaget ketika melihat keluar jendela, matahari telah berganti rembulan. Kuseret langkah menuju ruang UGD, hatiku tiba-tiba dingin dan membeku setelah mendengar keterangan dari suster piket bahwa jenazah laki-laki itu telah dibawa ke Jakarta oleh rekan-rekannya sesama wartawan.
***
Kukemasi pakaian di lemari kecil kamar kostku setelah mengajukan cuti kepada bos di kantorku. Kali ini aku ingin bersimpuh di kaki emak dan menuruti segala kemauannya termasuk keinginannya untuk menjodohkan aku dengan laki-laki pilihannya. Terbayang di benakku, wajah ceria dan berbinar-binar menyambut kedatanganku yang sekian lama tidak pulang ke kampung halaman. Hati emak pasti akan bertabur suka cita.
Sebelum meninggalkan kamar kost, kuraih telpon genggam dan aku ingin memberitahu abangku perihal kepulanganku ke kampung. Suara abang terdengar datar di telingaku setelah kukabari bahwa aku akan pulang. Selang beberapa menit kemudian, telpon jatuh dari genggamanku. Jantungku berhenti berdetak, asaku menguap menembus langit-langit kamar setelah abang mengatakan bahwa emak telah dikubur seminggu yang lalu di halaman belakang rumah.###
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
RESENSI BUKU ; THE POWER OF SHOWING UP
Judul : The Power of Showing Up Penulis : Daniel J. Siegel, M.D & Tina Payne Bryson, Ph.D Penerjemah : Alodia Dwinkarinardy Penerbit : P...
-
Rome, Italy in My Eyes. “Banyak jalan menuju Roma” Pepatah ini sudah tidak asing di telinga kita. Iya, karena secara historis memang Roma...
-
dokpri Ingin Liburan ke Mount Titlis, Ini Tips-nya. Halo sobat, rasanya luamaa banget gak update blog. Kangeenn!!! Gak be...
-
Tiba di kawasan Menara Pisa langit masih digelayuti arakan awan hitam. Untuk sampai di menara kami harus berjalan kaki b...
Innalillaaah...
BalasHapusDulu waktu gadis juga aku sebel dikejar2 mulu suruh kawin. Emang cari laki kaya nyari angkot? Eh, curcol
Hehehe...fenomena emak2 ya mbak.... ntar kita jg bakalan jd emak2 tua begitu...jd pelajaran :)
HapusHehehe...fenomena emak2 ya mbak.... ntar kita jg bakalan jd emak2 tua begitu...jd pelajaran :)
HapusKeren ceritanya Nan. Dak nyangko pinter nulis cerpen..hehe.. Sementara tumpukan cirat-coret naskah cetoen yg Ayuk buat tak pernah tuntas menjadi utuh.. Btw, jd inget dulu.. Ketika emakku nyuruh2 kawin lantaran patah hati.
BalasHapusHaha..
Yuk...awal nulis, aku mmg lbh byk bikin cerpen.dan puisi...malah sempet terbit antologi cerpen n puisi... :)
HapusOhh...mulai dari nulis cerpen dulu yo Nan.. Ayuk dulu pernah nulis di ANITA jugo.. kalo puisi malah dak biso bikinnyo..susah bikin puisi..
HapusHayo yuk bikin cerpen...kirim lg ke media...:)
HapusHayo yuk bikin cerpen...kirim lg ke media...:)
HapusYa Allaah, sedih banget baca endingnya mbak. Hiks. Jadi ingat ibu yang di kampung. Seringkali aku mengecewakan dengan rasa percaya diriku yang katanya terlalu tinggi. :'( Terharu, bener-bener! Suka nih sama cerpennya :)
BalasHapusWaahh...ternyata byk kisah yg real mirip ya.... mksh y mbak :)
HapusEndingnya twist ya mb. ga nyangka bgt. dtgu tulisan2 lainnya ya mb :)
BalasHapusHehehe... sad ending... unpredict ya
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHmm bagus sekali mbak, jujur saya belum bisa banget menulis cerpen.
BalasHapus