Selasa, 30 Juni 2015

Kutitipkan Cinta di Pantai Krakal, Gunung Kidul

Bahagia, mungkin itulah kata yang paling tepat kutuliskan setiap kali aku mengunjungi pantai.  Sepoi-sepoi angin  masih membelai ramah kerudungku yang panjang.  Sesekali gamis yang aku kenakan tersibak.  Dengan cekatan jari jemari tangan kiriku berusaha menghalaunya, sementara pandanganku masih mengitari sisi-sisi pantai. 

Sebuah batu besar di pinggir pantai, ranting pohon berjuntai di atasnya, langit biru terang seirama dengan air pantai yang jernih kebiruan.  Aku tak mau melewatkan panorama cantik  ini.  Kurogoh gadget di dalam tas cangklong di pundakku, beberapa saat kemudian, klik…sekejap kecantikan alam itu telah beralih ke folder gallery di gadget-ku.  Seperti biasa narsis-ku sedikit tersentuh, foto itu kujadikan DP (Display Picture) di BBM (Blackberry Messenger).

pantai krakal gunung kidul

Tring….
“Keren banget, itu pantai dimana?” Tanya seorang teman via BBM
“Pantai Krakal, Gunung Kidul,” jawabku dengan menambahkan emoticon  senyum mengembang.
Bahagiakupun bertambah-tambah.

***

Jam menunjukkan pukul 12:35 wib.  Terik matahari sebenarnya cukup panas, tapi pohon-pohon hijau yang berderet di pinggiran pantai mampu mengimbangi panasnya matahari sehingga udara masih terasa sejuk.

“Umiiii…..makan yuk,” teriak putri bungsuku dari kejauhan sambil berlari menghampiri aku.

Aku menoleh, wajah kedua  putriku terlihat begitu gembira.  Putri sulungku juga ikut berlari kecil.
“Hayoo, udah laper ya, ajak abi dulu gih,” jawabku sambil mengarahkan pandangan kearah suamiku yang sedang sibuk mengabadikan panorama pantai dengan handphone nya.

Hanya beberapa meter saja dari bibir pantai, berjejer kedai-kedai makan dengan menu khas pantai, ikan bakar.
Siang itu, makan siang menjadi sangat nikmat.  Beberapa ikan laut segar bakar, disantap selagi hangat di atas gazebo di pinggir pantai.  Sesekali semilir angin pantai berhembus menerpa, menjadikan suasana makan siang semakin nikmat dan romantis.

“Nggak Cuma lezat masakannya, tapi sangat ramah di kantong,” ujar suamiku sembari bersandar di tiang gazebo usai menghabiskan beberapa ekor ikan bakar.

Aku hanya mengulas senyum setuju.

Memang sangat murah pikirku dibandingkan dengan di Jakarta.  Biasanya kami menghabiskan 500 ribu sampai 1 juta untuk menyantap sea food segar di Bandar Jakarta.  Sementara disini kami hanya membayar tidak lebih dari 200 ribu untuk masakan yang sama. 

Usai makan siang, kami beristirahat sebentar di home stay yang hanya beberapa langkah saja dari bibir pantai.  Tapi anak-anak sudah tidak sabar ingin nyebur ke pantai.  Airnya yang jernih, dangkal, dengan karang-karang cantik dan ombak yang tidak begitu besar memang sangat menarik dan aman buat anak-anak untuk berenang dan bermain.

Entahlah, anak-anak memang tidak pernah mengenal lelah, apalagi kalau sudah melihat pantai yang indah begini.  Padahal perjalanan Jakarta-Yogya memakan waktu tempuh 30 jam-karena bersamaan dengan libur lebaran-tak menyisakan sedikitpun kelelahan, mereka begitu asyik berbasah-basahan. 

Dan seperti tidak ada kata bosan, kunjungan kami kali ini ke Yogyakarta adalah kunjungan ketiga setelah kunjungan pertama di tahun 2000 dan kunjungan kedua di tahun 2010.  Tidak seperti kota-kota lainnya yang biasanya cukup satu kali kami kunjungi untuk berlibur.  Yogyakarta bagi kami adalah kota sejuta magnet, meski tak satupun sanak saudara kami yang menetap di Kota Yogyakarta ini.

Melihat kedua putriku begitu asyik bermain air pantai , akupun tak mau ketinggalan.   Kukenakan sandal jepit dan kugantungkan kamera DSLR andalanku di leher, siap mengitari pantai untuk mengabadikan setiap sudut keindahan Pantai Krakal ini.  Fotografi sudah menjadi hobi baruku beberapa tahun belakangan ini.  Satu hal yang menjadi alasanku untuk menekuni hobi fotografi ini adalah karena kami sekeluarga punya hobi yang sama yaitu traveling.  Dan destinasi utama kami adalah pantai.

Perlahan dan dengan sangat hati-hati aku menelusuri karang-karang kecil yang tersebar di pinggiran pantai.  Disamping takut tergelincir aku juga tidak mau injakan kakiku menganggu atau merusak kehidupan mikro organisme laut yang ada di permukaan karang.  Aku berjalan ke sisi kiri pantai.  Beberapa batu karang besar begitu indah berhimpitan membentuk lubang dan dari lubang itu aku bisa mengintip karang yang berada di kejauhan.  Di bagian bawah karang terdapat cekungan yang membentuk seperti gua dengan pasir putih halus yang bersih dan air bening, begitu menyejukkan mata.  Di sela-sela karang aku bisa menyaksikan ikan-ikan kecil berlarian yang begitu memukau penglihatanku.

karang di pantai


“Sayang, sepertinya kamu senang sekali berada di tempat ini,” suara suamiku sedikit membuatku terperanjat.

“Iya mas, sepertinya anak-anak juga begitu,” ujarku sembari mengarahkan pandangan kepada kedua putriku yang sedang asyik bermain air.

Aku dan suamiku duduk di atas salah satu batu karang sambil menunggu sunset yang beberapa saat lagi akan menghiasi langit.

“Pantai ini sempurna ya,”  ujar suamiku dengan suara agak dikeraskan berusaha mengimbangi suara deru ombak.
Belum sempat aku menimpali, suamiku kembali melanjutkan perkataannya.

“Kita tidak bisa menikmati deru ombak seperti ini ketika beberapa tahun lalu kita berkunjung ke Pantai Parai Bangka,  Pantai Parai terlalu sunyi”, lanjutnya dengan suara menekan.    “Kalau Pantai Kuta Bali yang tersohor itu jelas tidak ada apa-apanya dibanding Pantai Krakal ini, Selain Pantainya sudah tercemar, pengunjungnya tak terbendung dan view pantainya juga polos.  Apalagi tanah lotnya, yang kamu bilang seperti pasar malam sehingga menyulitkan kamu untuk mengabadikannya.  Hmmm, kalau Pantai Nusa Dua Bali, memang airnya masih bersih, anak-anak bisa bermain tapi karang-karangnya juga terbatas, tidak seunik Karang-karang di Pantai Krakal ini Dan di Pantai Nusa Dua Bali Kita juga tidak bisa menyaksikan keindahan gulungan ombak seperti disini.”

Aku mengangguk kuat-kuat , pikiranku menerawang membayangkan masa-masa yang pernah kami lalui ketika berkunjung ke beberapa Pantai yang disebutkan oleh suamiku.  Tentu saja sambil sesekali jari telunjukku memencet tombol shutter di kamera.



jelang sunset di pantai krakal


pasir putih pantai krakal

“Kamu masih ingat nggak waktu kita ke Pantai Pangandaran,  Anak-anak jadi takut terkena air karena warna airnya yang keruh tercemar berbagai limba.  Nggak jauh beda dengan air di Pantai Ancol dan Pantai Anyer.  Malah anak-anak sempat mengeluh gatal-gatal di sekitar  area kaki karena nggak sengaja   terkena air pantai disana.  Di Pantai Krakal ini seperti yang kamu saksikan sendiri, anak-anak begitu bebas bermain air tanpa harus khawatir beresiko yang tidak diinginkan.  Sempurna bukan?”

Aku kembali tersenyum, diam-diam bathinku membenarkan.  “Kalo Pantai Losari Kalimantan atau Pantai Senggigi Lombok gimana mas, kan kamu udah beberapa kali kesana?” Tanyaku dengan rasa ingin tahu karena aku memang belum pernah kesana, beberapa kali mau kesana selalu berhalangan.

“Hmmm, kamu pasti nggak betah disana sayang, kamu kan suka pantai yang view-nya bervariasi, berbatu, banyak karang yang membuat hobi fotografimu tersalurkan.  Pantai-pantai disana lebih pantas untuk pasangan baru yang menikmati bulan madu, suasana pantainya tidak jauh seperti Pantai Tanjung Lesung Banten,” ujar suamiku meyakinkan.  “Menurut Mas, Pantai Krakal ini lebih cocok untuk kita, yaaa, mungkin juga sangat cocok untuk keluarga-keluarga kebanyakan yang ada di negeri tercinta ini”, sambungnya lagi.  “Oh ya, kamu pasti masih ingat liburan akhir tahun kita ke Eropa,  saat itu kita mau mengunjungi Pantai Nice yang indah itu, tapi belum sempat kita menikmati Pantai Nice tersebut, tiba-tiba badai datang ditengarai angin  kencang dan derasnya hujan.  Kalau disini kita tidak akan pernah mengalami kejadian seperti itu.  Disini, indah, nyaman dan menenangkan, patut kita syukuri punya alam seperti ini”, imbuhnya lagi.

Sementara langit makin gelap, kami menepi menuju home stay.   Dan berharap esok pagi masih diberi kesempatan untuk menikmati keindahan bukit karang di sisi kanan Pantai Krakal.

***

Jika kebanyakan wisatawan menaiki  bukit karang yang terletak di sebelah barat Pantai Krakal, berbeda dengan kami.  Kami justru penasaran ada apa atau lebih tepatnya keindahan apa yang tersembunyi di balik bukit karang yang menjulang tersebut.

Aku mencoba memasuki lubang yang berbentuk mulut  gua di bagian bawah bukit karang tersebut.  Berjalan mengendap beberapa langkah dalam keremangan.  Ada sedikit ragu untuk melanjutkan langkah tapi rasa penasaran lebih mendominasi.  Beberapa langkah kemudian seberkas cahaya menyilaukan mata dan makin aku maju cahayanya makin terang.  Takjub!  Dibalik mulut gua yang mirip terowongan pendek ini terdapat beberapa karang yang cantik dan menjulang.  Di ujung baratnya berdiri karang yang tinggi dan kokoh dengan bentuk yang unik dan menawan.  Beberapa dindingnya dihiasi batu-batu salaktit yang mengucurkan tetesan air yang sejuk dan segar.  Sesekali ombak datang menyapu karang dimana tempat aku berdiri.  Ah…sungguh menakjubkan.

gua batu karang



gua di dalam karang






Aku tak mau menikmati keindahan ini sendirian, aku berteriak sekencang-kencangnya memanggil suami dan kedua putriku.  Wajah mereka terlihat berbinar bahagia.  Kebahagiaan mereka adalah kunci semangat hidupku. 

Tiada kata yang lebih pantas kuungkapkan pada alam yang telah membahagiakan orang-orang yang aku cinta kecuali kutitipkan cinta yang aku punya.  Semoga angin rindu akan membawa aku kembali ke tempat ini.  Suatu saat nanti.


***
Baca juga :
Parai, Surga Tersembunyi
Sawarna, Pesona Yang Terabaikan
Pengalamanku Saat Berakhir Pekan di Tanjung Lesung

Note : Semua foto milik pribadi penulis

Kamis, 11 Juni 2015

Hujan dan Kenangan, Gunung Papandayan


Persis tengah malam untuk pertama kalinya kakiku menjejak di kota Swiss Van Java-julukan Kota Garut- yang sejuk karena dikepung oleh pegunungan.

Pekatnya malam  tak membuat mataku kalah oleh kantuk, sebaliknya kutebar pandangan ke luar jendela mobil mengitari senyapnya kota diantara kerlap kerlip lampu jalanan.  Aku menoleh kebelakang, kedua putriku masih tertidur lelap diatas jok tengah.  Kasihan, perjalanan Yogya-Garut molor beberapa jam dari prediksi sebelumnya, sepertinya kedua putriku sangat kelelahan.

“Kita cari hotel dulu ya”, kata suamiku sambil mengurangi kecepatan kendaraan

Mobil melaju  perlahan, seiring berputarnya  jarum jam melewati tengah malam.  Beberapa belas menit kemudian kami menemukan Hotel Tirta Gangga yang bangunannya bergaya  klasik di pinggiran kota Garut.

Memasuki kamar hotel yang nyaman,  luas dengan perabotan yang serba klasik membuat rasa lelah sedikit terobati.  Liburan kami kali ini memang sangat berbeda. Mungkin  lebih tepat disebut petualangan.  Bagaimana tidak?  Perjalanan  Jakarta-Yogya memakan waktu tempuh 30 jam-karena bertepatan dengan libur lebaran- kemudian  selama 7 hari menjelajah tempat-tempat wisata di Yogya.  Diteruskan perjalanan selama belasan jam Yogya-Garut.  Dan rencana, sebelum kembali ke Jakarta, kami ingin menuntaskan perjalanan ini di Gunung Papandayan, Garut.  Kebayang kan? Betapa letihnya belahan jiwaku menyetir tanpa mau aku gantikan, dan kami hanya beristirahat pada waktu-waktu sholat dan makan saja.  Tapi, kedua putriku lebih suka perjalanan seperti ini dibanding menggunakan airplane.  Lebih seru dan berkesan kata mereka.
                                                                                  


Senyumku mengembang, ketika pagi hari melihat kedua wajah putriku begitu ceria setelah menghabiskan sarapan di restoran lantai atas. Nasi goreng spesial plus omelet dan  beberapa  menu seafood dibalut tepung crispy dan aneka jus buah segar, memang hidangan yang cocok di lidah kami. 

“yuuk jalan! Udah hampir jam 9 niih, mau berangkat jam berapa?” ujar sulungku sembari berdiri hendak meninggalkan meja makan.

“Iya, nanti kesorean lagi di sananya.” Cetusku menambahkan.

“waduuuhhh, ada yang udah gak sabar mau foto gunung nih.” Sela suamiku meledek, melihat kedua tanganku yang sudah menggenggam tas kamera.

                                                                                  ***


Sinar matahari mulai merangkak naik ketika mobil kami mulai menelusuri jalan menuju lereng Gunung Papandayan.  Jalanan yang begitu sepi dengan topografi yang rusak parah, lubang-lubang yang tidak bisa diprediksi kedalamannya, kiri kanan hutan rimba sedikit membuat aku ragu untuk melanjutkan perjalanan.

Mobil besar kami melaju seperti kuda, tapi kedua putriku justru terlihat sangat menikmati perjalanan ini, mereka tergelak setiap kali ban mobil terpaksa harus menaiki batu besar atau masuk ke dalam lubang yang dalam.

Dasar anak-anak”, Gumamku dalam hati

Akhirnya , tepat ketika matahari persis di atas kepala, kami sampai di lereng gunung.  Baru aku saksikan ada kehidupan disini.  Tempat parkir yang luas, kedai-kedai makanan ringan dan satu gedung pengelola tempat wisata Gunung Papandayan.  Di gedung ini kami diberikan briefing sejenak tentang destinasi apa saja yang bisa dikunjungi.

“Sayang pak, harusnya jam 7 pagi sudah berada disini, kalau sudah siang begini tidak bisa mengunjungi semuanya,” kata bapak petugas briefing dengan ramah.

Iya,  ternyata ada beberapa tempat yang  menjadi daya tarik pengunjung.  Empat kawah dan beberapa lubang magma aktif yang tersebar di beberapa titik, hutan mati, edelweis  dan saat-saat sunset di puncak Gunung Papandayan.  Tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Ketika kami memulai pendakian, tak disangka gerimis tiba-tiba mengucur dari langit.  Cuaca saat itu, awal agustus 2014 masih belum stabil, kadang panas terik, hujan, gerimis atau mendung tanpa hujan.

Kami berteduh sejenak di warung kecil, sepertinya menyantap mie instan panas adalah pilihan tepat  untuk menghangatkan tubuh, sembari menunggu hujan reda.  Selain memang tidak tersedia rumah makan dan perut juga sudah menagih untuk diisi.  Hmmm, selalu terasa nikmat jika pandai mensyukuri.

Langit makin berkabut, cuaca mulai mendung, gerimis sedikit mereda.  Bismillah, kami melanjutkan pendakian, ditemani seorang pemandu.




Awalnya aku ragu apa aku bisa mendaki gunung yang terjal, curam dan sesekali harus melintasi jalan setapak dengan jurang dalam dibawahnya.  Kami memang tidak berniat mendaki sampai ke puncak, hanya ingin menikmati pemandangan kawah, magma dan menyaksikan keunikan permukaan pegunungan yang tinggi dan berbatu.  Tapi ternyata untuk menyaksikan semua itu juga tidak mudah.

Kakiku terus berayun melangkah, satu demi satu tanjakan terlewati.  Udara sejuk pegunungan seperti menarik-narik kakiku untuk  terus berjalan.  Kabut makin tebal, lekuk-lekuk gunung mengintip di sela-sela kabut yang semakin membuat aku terkagum-kagum.  Asap belerang mulai tercium dari kejauhan.  Penasaranku makin menggunung, ingin menyaksikan langsung lubang-lubang magma yang bergolak dari dalam perut bumi.

Perjalanan masih terus berlanjut dan gerimis makin menjadi-jadi.  Kami harus menuruni tebing yang curam dan kemudian melintasi anak sungai yang terjal penuh batu-batu besar.

Subhanallah, akhirnya kami sampai pada satu titik lubang magma yang mendidih dan menimbulkan uap beraroma belerang.  Takjub!!!









Hujanpun menderas.  Ketika kami berada di atas permukaan bumi yang terhampar luas dan hanya beratap langit.  Disekeliling diselimuti kabut-kabut tebal dan jika mengarahkan pandangan ke bawah, terlihat bukit-bukit batu tertutup kabut tipis dan tebal, kelok-kelok sungai yang mulai pasang karena derasnya hujan.  Allahurobbiiiii…. Betapa luas semesta-Mu, diri ini begitu kecil dan tidak ada apa-apanya.

Hujan mengguyur tubuh kami dengan sempurna, menatap kedua putriku yang tertawa riang bermandikan hujan mengingatkan aku pada masa kecil dulu.  Ketika hujan adalah saat-saat yang dinanti, berhamburan ke luar rumah mencari tanah lapang yang luas, kemudian berguling-guling  dan sesekali saling menyemprotkan air bercampur tanah coklat ke muka teman-teman sepermainan.  Setelah puas bermain membilas tubuh dibawah pancuran air yang sejatinya adalah saluran air dari atap rumah.
Ah, betapa indah masa kecil….














“Kita harus segera turun, hujan makin deras, khawatir sungai meluap”,  ujar pemandu membuyarkan lamunanku.

Jelang jam empat sore, langit makin berawan hitam, kami pelan-pelan menuruni tebing menuju arah pulang.  Dalam perjalanan pulang beberapa titik lubang magma masih sempat kami saksikan.  Bahkan ada satu lubang magma yang bergolak mendidih dengan sangat kuat.  Jika kita melemparkan batu diatasnya, serta merta batu itu akan mental beberapa meter, didorong oleh kekuatan uap yang menyembur.  Sebuah fenomena alam yang langka  dan menakjubkan.  Subhanallah…


Selang satu jam, tibalah kami di lereng gunung.  Hujan masih setia mengguyur tubuh kami yang lusuh dan basah kuyup.  Kami beristirahat sejenak di kedai kecil sambil menghangatkan tubuh dengan segelas wedang jahe. 

Alhamdulillah…. Lega rasanya melihat kedua putriku yang masih tersenyum meskipun jari jemarinya terlihat kisut karena kedinginan.

                                                                           ***

Aku dan Lock Down-Virus Corona (Covid19)

Aku tiba-tiba merasa berada dalam dunia unreal, antara percaya dan tidak dengan apa yang sedang aku alami saat ini. Tepatnya hari senin 1...